www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-01-2022

Sekitar tahun 1961-an, setelah persidangan tokoh holocaust (jaman Nazi) di Israel sana, Stanley Milgram membuat sebuah percobaan untuk melihat apakah kekejaman itu sekedar soal ‘menuruti perintah’ saja atau lainnya? Maka dibuatlah iklan rekrutmen relawan bagi sebuah percobaan untuk meningkatkan ‘mutu pendidikan’. Percobaannya sendiri terdiri dari seorang ‘guru’ (tempat yang diteliti, para relawan), murid (diperankan aktor) dan seorang pengamat tak jauh dari sang-guru. Pengamat lengkap dengan jas laboratoriumnya. Guru akan memberikan pertanyaan-pertanyaan pada murid dan jika murid salah ia akan ‘dihukum’ dengan ‘sengatan listrik’. ‘Tombol sengatan’ ada di depan sang-guru dan disambungkan dengan kabel ke si-murid, dengan ‘level sengatan dari rendah sampai tinggi’. Tentu tidak ada aliran listriknya, dan nantinya si-murid (aktor) akan pura-pura kesakitan ketika sengatan diberikan, karena salah jawab. Jika ‘guru’ ragu-ragu maka pengamat akan mengingatkan (dalam beberapa tingkatan kerasnya peringatan) supaya ‘guru’ tidak ragu dalam memberikan ‘hukuman’ atau ‘sengatan listrik’ itu. Dari hasil rekrutmen, relawan ternyata mereka mempunyai latar-belakang yang bermacam. Hasilnya? Ternyata dari yang kalangan terdidik dan ‘orang-orang baik’-pun sampai-sampai teganya memberikan ‘sengatan maksimal’, bahkan ketika ‘si-murid’ (aktor) sudah mengiba-iba untuk dihentikan!

Yang bisa kita pelajari salah satunya adalah bagaimanapun relawan-relawan itu masuk ke ruang eksperimen dengan bayangan ‘akan membantu peningkatan pendidikan atau cara belajar siswa’. Mungkin ada pula karena bayarannya, karena memang dalam iklan diumumkan ada kompensasi sekian dollar. Dari sini kita bisa berandai-andai, mungkinkah sifat ‘heroik’ ini adalah juga soal ‘model’ pahlawan dan kepahlawanannya yang beredar di masyarakat? Artinya diam-diam menyelusup pula dimensi ‘binatang pemuja’ itu. Dari percobaan, kira-kira dua dari tiga ternyata sampai tega untuk memberikan sengatan level tertinggi. Tentu faktor pengamat (otoritas?) yang selalu akan mengingatkan karena ‘guru’ menjadi ragu adalah faktor signifikan, yang seakan membenarkan bahwa banyak yang ‘sekedar’ menuruti perintah. Sedang sepertiganya memilih menghentikan percobaan, tidak kemudian sampai memberikan sengatan tertinggi. Bermacam alasannya. Dan memilih tidak mengikuti ‘perintah’ dari si-pengamat.

Nampaknya Machiavelli (lihat bagian 1) benar, kesalahan utama adalah soal ‘tidak tahu batas’. Dan dari percobaan di atas, soal ‘tahu batas’ ini sungguh tidaklah mudah, apalagi jika berhadapan dengan sebuah ‘otoritas’. Sebagian besar bahkan akan ‘gagal’. Kita tidak akan sampai untuk memilah apakah itu kemudian menjadi ‘orang baik’ atau tidak, tetapi bagaimanapun itu bisa digunakan untuk membayangkan bahwa fakta keseharian memang bisa-bisa begitu adanya. Atau kita lihat dari sisi lain? Misal, percobaan itu menunjukkan bahwa begitu pentingnya dalam memilih siapa yang akan memegang otoritas itu. *** (28-01-2022)

Kita Adalah 'Binatang Pemuja' (2)