www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-01-2022

Maka ideologi adalah juga sebuah tirai asap, bisa jadi. Tirai asap bagi laku sebenarnya. Laku-laku yang muncul dari orang-orang sok-ideologis, karena sebenarnya hanyalah perut-perutnya sendirilah yang dipikirkan. Tidak ada urusannya dengan anak-cucu ideologis-biologis atau sekitarnya, sebab memang tidak ada itu yang namanya ideologi. Atau kalau mau disebut ideologi ya ideologi kenang-kenangan saja. Tidak lebih dari itu. Yang ada, yang bukan kenang-kenangan ya itu tadi, perut-perutnya sendiri. Dan segala yang ada di bawah perut itu.

Maka segala cerita ujungnya adalah soal ‘naik-turun-nya harga’, karena hikayatnya adalah hikayat akan uang. Dan sebenarnya bukan ‘naik-turun-nya harga’, tetapi ‘naik-naik-nya harga’. Berapa (naiknya) harga untuk seorang calon presiden, calon gubernur, bupati/wali kota, dan bahkan soal naik-(naik)-nya ‘harga-per-satu-an-suara’ nantinya, untuk bisa masuk ke Senayan misalnya. Rusak-rusakan. Rusak yang sudah kronis-mengakar. Ketika politik menjadi sumber utama penghidupan maka olah-kuasa memang bisa-bisa menjadi tidak bermutu. Ora mutu. Terlalu banyak kemudian seliweran politisi kelas kirik. Dari kirik kelas pelosok sampai dengan kirik kelas gedongan. Beda gaya, tetapi sama-sama kirik-nya.

Teriak-teriak soal ini dan itu, teriak-teriak soal A dan Z, seringnya adalah untuk menaikkan ‘harga’, dan sering sungguh tak lebih dari itu. ‘Harga’ yang bisa-bisa naik jauh dari akumulasi inflasi selama 5 tahun. ‘Pembeli’-pun sebenarnya sudah hapal, atau semakin hapal saja kode-kode yang sedang ditebar. Karena tidak mau rugi maka kenaikan ‘harga’ kemudian dibebankan pada konsumen: si-pemilih nantinya. Bahkan bisa jadi mulai sekarang. Suram. *** (12-01-2021)

 

Mainken, Cuk