www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-01-2022

Kuman banal merupakan kuman yang biasa saja ada dalam tubuh. Bahkan bisa-bisa berguna juga. Tetapi jika dalam kondisi tertentu menjadi terlalu banyak, atau tubuh sungguh dalam kondisi buruk, kuman banal bisa mengganggu. Atau jika mengingat analisis Hannah Arendt, evil yang mengalami banalitas bisa-bisa berujung pada yang sungguh mengerikan: holocaust. Bagaimana jika bohong itu mengalami banalitas? Menjadi banal? Bukankah dalam derajatnya ia bisa dimasukkan juga dalam ‘golongan evil’ itu? Pernahkan kita dalam rentang hidup ini berbohong? Atau dibohongi? Jelas pernah. Tetapi bagaimana jika kita hidup dalam sebuah komunitas yang kebohongan sudah menjadi banal?

Mochtar Lubis, 45 tahun lalu dalam bukunya Manusia Indonesia menulis bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah hipokrisi (munafik). Di depan bilang ini, di belakang bilang itu. Benarkah? GM Sudarta dalam sampul buku tersebut menggambarkan dengan jitu, benar atau tidak itu lebih sebagai cermin. Tetapi katakanlah memang banyak yang ‘mengidap’ hipokrisi –entah karena ‘gen’ yang ‘termodifikasi’ sejak jaman penjajahan melalui rute ‘epigenetik’ atau lainnya, maka bisa dikatakan pula ini (hipokrisi) dapat menjadi ‘habitat’ idaman bagi yang punya keahlian berbohong. Apalagi diyakinkan oleh orang-orang sekitar bahwa eranya adalah era post-truth. Dibisikinya, nanti 30-40 tahun kemudian jika ada yang mempersoalkan ‘pembunuhan massal akal sehat’ melalui senjata kebohongan massal itu, maka pasti akan ada yang menjelaskan bahwa eranya saat itu memang sedang post-truth. Padahal mau ada era post-truth atau tidak, yang namanya evil dan turunannya itu selama manusia ada ya akan terus gentayangan. Terlebih pada eranya itu sudah banyak yang mengingatkan. Jadi klaim bahwa semangat jamannya memang sedang ‘semangat kebohongan’ jelas itu murni sebatas klaim saja.

Tetapi mengapa soal bohong dalam politik ini perlu dibahas? Bukankah politisi itu selalu ada dalam bayang-bayang tipu-tipu? Yang dimasalahkan di sini adalah soal batas, soal batas yang menjadi kabur ketika sudah terjadi banalisasi. Dan banalisasi kebohongan ini sebenarnya lebih akan terjadi pada rejim korup. Karena sebenarnya sebuah kebohongan adalah juga sebuah ‘korupsi’ terhadap kebenaran. Rejim yang korup akan enteng-enteng saja berulang dan berulang berbohong ..... tiba-tiba saja kebohongan sudah menjadi banal. Banyak tukang-tukang survei yang menyajikan hasil penuh kebohongan dengan aksi jumpalitan gila-gilaannya. Apalagi buzzerRp-buzzerRp itu. Semua dilakukan dengan tanpa beban. Termasuk juga di sini, dan terutama malah, pengelola negara itu. Dengan segala kenikmatan yang diperoleh ketika kuasa ada dalam genggaman, dan jika itu dibangun berdasarkan kebohongan, resikonya menjadi sangat bertambah besar. Yaitu ketika masih diyakini sampai sekarang, penggunaan kekerasan masih dimonopoli negara. Akhirnya, meminjam istilah Albert Camus, ‘kejahatan logika’ itupun akan mendorong satu bentuk ‘kejahatan hasrat’ yang penuh dengan segala kekerasan telanjangnya –ketika ia sudah sampai batas-batasnya. Siapa yang ingin kenikmatan via jalan gampang itu melenyap? Kalau ada ungkapan korupsi sudah menjadi ‘budaya’, akankah ditambah lagi dengan bohong sudah menjadi ‘budaya’? Ketika komunitas kemudian jatuh dalam cengkeraman otoritarianisme, dengan korupsi merebak dan penuh kebohongan, siapa yang diuntungkan dengan situasi seperti ini? *** (05-01-2021)

Bohong Yang Banal