www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-12-2021

Bagi Levinas, temu-tatap-muka tidaklah sekedar ‘bertemu’ saja. Wajah bukanlah sekedar seperti dahan yang dapat dilepas dari pohon dan dihayati secara ‘mandiri’, atau katakanlah ditempel di KTP atau SIM, tetapi wajah merupakan hal tak terpisahkan dari keseluruhan denyut tubuh. Maka temu-tatap-muka itu berarti juga tidak hanya ‘bicara’ melalui mulut yang nempel di wajah, tetapi juga bertemu dan bicara dengan segala denyut ‘yang lain’ itu. Karena ‘sadar’ mesti merupakan ‘sadar akan sesuatu’ maka bagaimanapun juga ketika kita ber-tatap-muka itu, wajah-wajah dari ‘yang lain’ itupun menelusup masuk dalam kesadaran kita juga. Seakan juga menjadi ‘bagian’ dari diri. Wajah-wajah dengan seribu kemungkinan tarikan otot-otot kecilnya. Wajah-wajah dengan seribu kemungkinan bahasa isyarat. Yang dipicu bergerak karena bermacam hormon yang dilepas. Dari bermacam perasaan yang menggelayut. Macam-macam. Wajah-wajah yang seakan ‘menuntut’ pula untuk dihayati, dipahami.

Maka bagi Levinas, pertemuan tatap-muka itu juga merupakan ‘peristiwa etis’, yaitu ketika wajah ‘yang lain’ itu tidak hanya sekedar hadir di depan kita, tetapi juga ‘menuntut’ untuk tidak diperlakukan dengan semena-mena. Karena wajah yang hadir di depan kita itu seakan juga telah menjadi ‘tanggung-jawab’ kita juga. Pada bagian akhir Political Tribalism (2019), Amy Chua menyitir pendapat pemikir lain yang menandaskan bahwa pertemuan tatap-muka dengan bermacam manusia dengan latar belakang bermacam pula itu bisa mengurangi bermacam prasangka. Sedikit contoh bagaimana sebuah pertemuan tatap-muka bisa bermakna. Atau lihat dalam pemberitaan, betapa senangnya anak-anak itu ketika bisa masuk sekolah lagi setelah sekian lama pembelajaran dilakukan secara on-line. Atau lihat bagaimana upaya menampakkan gerak mulut di balik masker sempat mengemuka dalam pemberitaan. Masker dibuat transparan. Atau lihat misalnya ketika wajah-wajah bayi itu tiba-tiba saja menampakkan tawa lucunya, bukankah kita juga seakan semakin terhubung pula? Atau ketika ia menangis lapar. Macam-macam.

Tetapi fakta masa lalu menunjukkan bahwa hadirnya wajah-wajah di depan kita itu bisa-bisa hadir seakan ‘tanpa tuntutan’ sama sekali. Kemana hilangnya rasa ‘tanggung-jawab’ kita terhadap wajah-wajah yang hadir di depan kita? Hasrat merupakan hal yang sungguh esensial bagi manusia, demikian kata Spinoza. Dan bukankah bermacam hal etis itu bisa sangat mudah saja dirobohkan oleh gejolak hasrat? Bagaimana hal etis dari seorang pemimpin yang selalu lekat dibayangi kuasa itu dapat selalu terjaga? Atau bisa kita bayangkan, bagaimana jika hal-hal etis  dalam hidup bersama semakin tipis? Etika akan berurusan dengan hal baik dan buruk, tetapi dalam praktek ia akan lebih berurusan dengan hal baik dan kurang baik, buruk dan kurang buruk. Seringnya tidak berurusan antara hitam dan putih. Lihat misalnya dalam profesi medis, ada sidang kode etik, misalnya. Mereka harus bersidang karena tidak sekedar soal hitam dan putih lagi. Maka memang soal nalar akan terlibat secara luas dan mendalam di sini. Segala potensi manusia akan dikerahkan dalam membuat sebuah ‘keputusan etis’. Selalu tidak ada ‘jalan gampang’ dalam sebuah ‘keputusan etis’.

Hampir 40 tahun lalu ada film Budak Nafsu (1983), karya sutradara Sjuman Djaya. Judul kiranya mewakili kapan ‘keputusan etis’ mengalami tantangan terberatnya, yaitu ketika hasrat memperbudak. Ketika hasrat memperbudak, ciri khas manusia: berpikir, akan semakin sempit ruang geraknya. Dan ‘keputusan etis’-pun akan semakin menjauh. Dan seperti diungkap oleh Hannah Arendt, ‘kombinasi’ antara hasrat yang memperbudak dan dipinggirkannya kemampuan berpikir bisa berujung pada ‘banality of evil’ itu. Wajah-wajah di kamp konsentrasi itupun kemudian dihilangkan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Hitler telah menjadi ‘kacung hasrat’ tanpa ada yang berani mengingatkan lagi. Dengan segala akibat pada para pengikut fanatiknya. Hal yang tidak jauh berbeda jika ‘otoritas hasrat’ itu berasal dari luar diri. Jadi ‘kacung hasrat’-nya kaum oligark misalnya, atau siapalah itu. Maka bisa dibayangkan, cepat atau lambat hidup bersama seakan semakin jauh saja dari ‘persoalan etis’. Bahkan ketika berhadapan langsung dengan penyandang cacat, atau ‘orang-orang kecil’, atau bahkan saat wajah-wajah di depannya menampakkan penderitaan karena tertimpa bencana. Tetap saja ‘pethakilan-asal-njeplak-selfa-selfi-tanpa-beban’ sesuai pesan-perintah dari tuan-nya. Maka rasa-rasanya “banality of evil’ itu akan semakin membayang pula. Kapan ‘batas-nyaman’ hidup berdampingan dengan ‘evil’ yang sudah menjadi banal itu akan tersentuh? Orang sono akan bilang, ‘enough is enough’. *** (06-12-2021)

Terlalu Banyak Kacung