www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-12-2021

Bayangkan seorang warga negara tetaplah diminta mencintai negaranya dengan segala jiwa-raganya, tetapi di depan hidungnya ia melihat bagaimana pengelola negara melempar-lempar bingkisan pada rakyatnya. Dan rakyat kemudian berebut seperti sudah hilang martabatnya. Itu berulang dan berulang. Dan ia kemudian membandingkan tayangan dari jaman penjajahan dulu, ketika rakyat berebut saat penjajah melempar-lempar koin. Atau remah-remah makanan. Atau lihat ketika seorang menteri bahkan untuk warganya yang cacat-pun ia tidak bisa menempatkan diri dengan semestinya. Seorang anak tuna-rungu dipaksa-paksa untuk bicara. Menteri kucluk seperti itu terus saja masih beredar. Dan sebagai warga-negara, tetaplah selalu diminta mencintai negara-bangsanya dengan sepenuh jiwa-raganya.

Atau ketika korupsi masih saja lalu-lalang di bermacam portal pemberitaan. Sementara bermacam pajak yang harus dibayar rakyat terus saja dikreasi oleh pengelola negara. Katanya, siapa yang akan membiayai program ke Mars kalau bukan pajak dari warga-negara? Hutan terus dibabat dengan ugal-ugalannya. Atau lihat bagaimana pengelola negara justru ikut dalam bisnis berbasis wabah, disaat rakyat megap-megap dari bermacam sisinya. Dan sebagai warga-negara, tetaplah selalu diminta dengan sepenuh jiwa-raganya, mencintai negaranya. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa hidup sebagai warga-negara serasa hidup dalam 'kamp konsentrasi' saja. Semakin sempit dan terus semakin sempit pilihan-pilihan yang ada. Terlalu banyak yang dirampas. Terlalu banyak yang ditelikung. Terlalu banyak yang dikemplang. Terlalu banyak di-semau-semaunya.

Apakah negara kemudian bisa terlibat dalam ‘pencarian makna’ hidup warga negaranya? Menurut Laski, karakter sebuah negara hanya akan bisa dihayati oleh warga-negaranya melalui karakter pengelolanya. Melalui pemerintahannya, dan bukan yang lainnya. Tidak melalui lagu-lagu perjuangannya, atau bermacam simbol yang ditebar di mana-mana. Tidak. Tetapi: melalui tingkah-polah pemerintahannya. Mengapa ‘makna-hidup’ disinggung di sini? Dari pengalaman Victor Fankl saat hidup dalam kamp konsentrasi NAZI saat Perang Dunia II kita semakin yakin bahwa soal ‘makna-hidup’ bagi seseorang itu akan selalu melekat dalam perjalanan hidupnya. Dan kita bisa belajar banyak dari Fankl. *** (03-12-2021)

'Terperangkap' Dalam Negara