www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-11-2021

Apakah politik bisa menjadi bagian dari ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’? Apakah politik yang dinampakkan oleh Ngabalin –orang istana itu, misalnya, dapat mencerdaskan kehidupan bangsa? Ataukah sebaliknya? Bagaimana kita bisa meraba bahwa politik berkembang sebagai bagian dari ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, atau sebaliknya? Apakah ‘politik identitas’ itu akan ikut ‘memperbodoh’ kehidupan bangsa? Tetapi, apakah kita bisa melihat isi kepala ‘manusia individu’  ketika masuk bilik coblosan? Bagaimana itu jika tertampakkan dalam ‘manusia massa’? Jika kita bisa belajar dari dinamika politik di tingkat nasional dan di DKI, sedikit banyak ada hal yang menarik, dan itu bisa kita tarik untuk mendekati masalah di atas: politik yang mencerdaskan, adakah?

Dari dinamika di dua ‘tingkat’ di atas, politik tingkat nasional dan DKI kita bisa meraba bahwa janji kampanye dan realisasinya itulah bisa dikatakan sebagai ‘syarat mutlak’ untuk menghayati apakah politik memang ikut ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Bukan pada ada-tidak adanya buzzerRp, bukan penuh sesak atau nihilnya sosok seperti Ngabalin itu, atau survei-survei abal-abal, tetapi sekali lagi soal janji kampanye dan realisasinya. Jika antara janji kampanye dan realisasi setelah terpilih terdapat jurang yang sungguh lebar, tanpa melihat yang lain kita bisa mengatakan bahwa politik ternyata memang sedang tidak terlibat, atau jauh dari ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Memang ini belumlah mencukupi, tetapi sebagai ‘syarat mutlak’ dalam praktek ia bisa dikatakan cukup ‘tangguh’-lah untuk menghadapi bermacam hal ‘yang membodohkan’ itu. Hal ‘yang membodohkan’ terkait dengan bermacam ‘teknik’ dalam politik yang memang ia ada dalam spektrum yang sangat lebar. Dari yang sungguh mbèlgèdès sampai dengan yang penuh dengan kehormatan. Atau katakanlah, mau pakai jalan ‘politik riil’ di ujung ekstremnya sampai dengan ‘politik idealis’ di ujung ekstremnya, tetap soal realisasi janji kampanyelah yang menjadi 'tolok ukur'. Seperti iklan Vespa doeloe: ‘lebih baik naik Vespa’. Apapun bunyi iklan dari para pesaing cukup dijawab: ‘lebih baik naik Vespa’ itu.

Tidak mudah untuk menempatkan janji dan realisasinya sebagai sebuah ‘tolok ukur’ kerena seperti dikatakan Machiavelli, “para pangeran yang paling banyak keberhasilannya ialah mereka yang tidak ambil pusing untuk menepati janji, tetapi tahu bagaimana memanipulasi pikiran orang dengan cerdik”. Dalam banyak hal apa yang mau ditunjukkan Machiavelli sekitar lima ratus tahun lalu itu pertama-tama bukanlah ‘brutal’-nya sebuah kuasa, tetapi apapun itu, kuasa tetaplah hal yang bisa dipahami ‘polah-tingkah’-nya. Kuasa bukanlah ‘sihir’ yang tidak bisa dipahami. Misalnya, salah satu ‘hal cerdik’ di atas adalah ‘resep’ lama sejak jaman Yunani Kuno: ‘roti dan sirkus’, terlebih jika itu terkait dengan janji pada ‘yang banyak’. Belum modus lainnya, terlebih dengan semakin berkembangnya media komunikasi. Semakin tidak mudah lagi karena setelah pemilihan hampir semua warga akan kembali ‘disibukkan’ dengan urusannya masing-masing. Apalagi seperti ditulis Machiavelli: “Berkat pemerintahannya yang sudah lama semua ingatan akan perubahan dan sebab-sebab perubahan tersebut akan dilupakan orang”. Janji-janji kampanye bagaimanapun merupakan salah satu ‘sebab-sebab perubahan’. *** (22-11-2021)

 

 

Politik Yang Mencerdaskan, Adakah?