www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-11-2021

We humans live by stories. The power of the right-wing comes not from their number, which are relatively small, but from ability to control the stories by which we answer three basic questions. How do we create prosperity? How do we achieve security? And how do we find meaning? By monopolizing the stories by which we answer these questions, they define and control the political debate to advance an imperial agenda.”

David C. Korten[1]

 Asal njeplak, asal mangap, asal omong, lips service doang, jika George Orwell membuat novel 2084 sekarang, itu semua mungkin akan dimasukkan Orwell sebagai bagian dari newspeak-nya. Newspeak di tingkat paling bawahnya. Dan tidak hanya bahasa verbal, tetapi juga termasuk bahasa tubuh: asal aksi. Emang kalo gué mau omong ini terus loe-loe-loe-loe-loe mau apé? Kalo gué bilang tidak untuk cari untung ya tidak cari untung, pokoknya gitu. Emang kalo gué mau aksi nanem padi saat hujan terus loe-loe-loe-loe-loe mau apé? Pala loe pèyang, lah ... Kira-kira salah-satunya tujuan newspeak adalah seperti itu. Bahasa bukan lagi rumah spesies manusia, tetapi rumahnya ‘mereka’ saja. Yang lainnya hanya kos saja, maka bahasa bisa semau-maunya digunakan sesuai selera.

Sudah banyak kajian hubungan antara bahasa dan kuasa, tetapi rasa-rasanya masih perlu perhatian khusus lagi terutama kaitan antara asal njeplak dan kuasa. Mungkinkah ini sebuah ‘permainan pikiran’, atau ‘perang psikologis’, atau diam-diam sebuah kekaisaran sedang dibangun? Raja tak pernah salah! Maka raja dan kaum bangsawan itu sedang menegaskan diri sebagai pemegang hak monopoli, termasuk hak atas asal njeplak itu. Asal njeplak itu adalah sebuah 'titah' –karena keluar dari mulut para bangsawan, meski dalam bentuk paling kumuhnya. Tetapi entah itu kumuh atau tidak, yang penting adalah soal batas. Batas antara raja dan kaum bangsawannya, berhadapan dengan rakyat biasa. Rakyat yang bahkan kentut sang raja-pun diminta untuk mengatakan betapa harumnya. Bahkan juga diminta terus tepuk tangan. Raja dan para bangsawan urusan paling penting adalah soal ‘isu-isu utama mereka’, dalam bahasa David Harvey: accumulation by dispossession. Sedang di luar mereka –rakyat biasa, urusan paling utamanya: alih isu. Apapun itu. Berapapun itu biayanya, termasuk biaya sosial yang harus ditanggung republik. Produksi ‘isu pengalihan’ terus silih berganti tanpa lelah oleh rejim yang tujuan utamanya adalah supaya ‘isu utama’ mereka: accumulation by dispossession itu bisa berjalan mulus.

Apa yang menjadi pilar utama tegaknya ‘singgasana’ raja? Atau kaisar? Nampaknya adalah sikap fanatik, atau meminjam kata-kata Churchill:  A fanatic is someone who can't change his mind and won't change the subject. Entah itu ‘sihir’yang dilekatkan pada raja/kaisar, atau puja-puji yang terus dilantunkan. Atau pada waktu bersamaan, kaki diinjak keras-keras, ‘fanatisme’ terhadap raja/kaisar memang harus terus dirawat dari hari-ke-harinya. “Hail Emperor Trump,” demikian ditulis Proud Boys[2], pendukung Trump dari sayap kanan jauhnya. Demikian salah satu ‘gambaran modern’ dimana fanatisme itu berujung ‘loyalitas’ buta pada ‘sang kaisar’. Sebuah ‘pencarian makna’ yang dengan jalan gampang akhirnya mendekat pada soal ‘identitas’ –Trump dalam hal ini adalah sebuah representasi dari sebuah ‘identitas’, misalnya. Hal yang sudah disinggung Manuel Castells –di penghujung abad 20, bahkan sebelum media sosial seperti sekarang ini merebak.

Apa yang menjadi ‘hak istimewa’ dari raja/kaisar dan para bangsawannya? Dalam praktek kiranya tidak jauh-jauh amat dari ‘accumulatin by dispossession’-nya David Harvey itu. Hanya saja pada jaman doeloe, perlindungan bagi 'yang banyak' masih diberikan oleh raja/kaisar dan para bangsawannya, tetapi jaman now, masing-masing harus mencari perlindungan sendiri-sendiri. Katanya, survival of the fittest. Pada dasarnya sebenarnya lebih brutal. Rasa-rasanya Negri dan Hardt dalam Empire (2000) benar dengan mengangkat lagi pendapat Polybius soal ‘rejim campuran’, monarki-aristokrasi-demokrasi yang dimainken dengan mak-nyus-nya, yang ujungnya tidak jauh-jauh amat dari pemaksimalan accumulation by dispossession itu, dan tentu secara bersamaan di sisi lainnya, mengendalikan 'yang banyak'. Maka ‘asal njeplak’, ‘asal aksi’ itu adalah bukan bagian dari kedunguan semata, tetapi bagaimana ‘hal dungu’ itu dimaksudkan sebagai bagian penjinakan (kemampuan berkembangnya pikir) dari ‘yang banyak’. Yang dimainken pada ‘yang banyak’ adalah semata soal emosi, dan tidak yang lainnya. Dan juga sekali lagi, ‘alih isu’ bagi ‘yang banyak’ itu, terus-menerus tiada henti. Maka rejim seperti ini janganlah diharapkan akan berpikir soal ‘nation building’ atau sekitarnya. Tidak akan pernah, karena isu utamanya adalah penggemukan diri dan komplotanyya saja. *** (15-11-2021)

 

[1] https://davidkorten.org/balle-renewing-the-american-experiment/

[2] https://www.nytimes.com/2021

/01/20/technology/proud-boys-trump.html

Asal Njeplak, 'Inovasi Terbesar' Dalam Politik?