www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-10-2021

Karena ‘kesibukan’ menjalani hidup maka sebagian besar hidup bisa-bisa lupa bahwa ia adalah anggota dari satu bangsa. Bahkan lupa bahwa ia juga anggota dari umat manusia di planet ini. Sebagian besar hidup memang akan dijalani dengan tidak aèng-aèng, biasa-biasa saja. Bangun, mandi, makan, kerja, sekolah, mancing, berkebun, dan bermacam lagi. Pulang, terus tidur. Besoknya bangun lagi. Kalau kita mriang-mriang, panas-dingin dan tubuh pegal-pegal, pergi ke toko obat atau tukang pijat. Jika belum sembuh bisa ke puskesmas. Kalau pengin fotokopi, ya ke warung fotokopi terdekat. Jika kita akan memperbaiki rumah, kita panggil tukang yang kita percayai mampu melaksanakan tugasnya. Dan rasa aman-nyaman terhadap rumah yang akan ditinggali nantinya akan meningkat pula. Demikian juga saat ke dokter, atau ke tukang cukur. Jika peningkatan kemampuan diri secara terus menerus sudah menjadi bagian dari atau terhayati sebagai ‘imperfect duty’ maka rasa aman itu memang akan meningkat juga. Menapak ke arah tersebut sungguh akan meningkatkan juga kualitas hidup bersama. Tetapi bagaimana jika hidup berbangsa ini terusik oleh ancaman perang dari luar? Makanya ada tentara, yang kegiatan utamanya adalah meningkatkan diri dalam kemampuan perangnya. Bagaimana jika ada pencuri, ada perkelahian, ada kemacetan yang mengular? Makanya ada polisi yang siap membantu dan melayani banyak orang. Mestinya. Lalu kapan kita akan menghayati ‘berbangsa satu bangsa Indonesia’ itu? Mungkinkah baru merasa sebagai satu bangsa saat peringatan kemerdekaan? Atau ketika Rudi Hartono melawan Svend Pri, dulu. Atau dalam peristiwa-peristiwa lainnya?

Pemilihan umum dalam konteks demokrasi pada dasarnya adalah memilih orang-orang yang mau dan mampu untuk ‘lupanya soal berbangsa’ itu menjadi sesempit mungkin. Tidak mudah ‘menemukan’ orang-orang seperti ini karena ranahnya berimpitan erat dengan soal kekuasaan. Terlebih soal ‘teknik’ perebutan dan mempertahankan kuasa sudah sedemikian rupa bermacamnya. Jika orang kebanyakan menjadi ‘lupa’ soal berbangsa ini karena ‘kesibukan hidup’ sehari-harinya maka ‘orang-orang terpilih’ ini bisa-bisa juga akan mudah lupa soal ‘berbangsa’ ini karena kesibukan dalam mempertahankan atau merebut kuasa. Padahal ‘orang-orang terpilih’ ini diharapkan untuk sesempit mungkin ‘melupakan’ soal berbangsa ini. Bagai seorang dokter yang kemudian tenggelam dalam keasyikan mencari ‘uang-medis’ tetapi lupa memberikan pelayanan pada pasien sebaik-baiknya. Lupa untuk terus-menerus meningkatkan kualitas diri, misalnya.

Maka krisis berbangsa ini pertama-tama akan ditemukan pada ‘orang-orang terpilih’ ini. Krisis ketika mereka-mereka itu lebih asyik tenggelam pada ‘teknik’ mempertahankan atau merebut kekuasaan. Politik memang akan selalu erat dan tidak akan terlepas dari kekuasaan. Tetapi politik mestinya juga punya batas-batasnya sendiri. Masalahnya, soal kuasa itu bisa seakan tanpa batas lagi. Bahkan will to power itu bisa-bisa meminggirkan will to survive. Itulah mengapa tetap saja selalu relevan bicara soal etika. Tetapi bagi yang menapak jalan realisme politik di ujung ekstremnya, politik ya tanpa etika. Mengingkari adanya orang-orang atau kelompok yang memilih jalan ini sama saja kita hidup di planet lain. Yang seperti itu pastilah akan ada, dan bahkan bisa menjadi kekuatan serius karena faktor ‘waton suloyo’-nya itu. Bahkan bisa juga naik ke puncak kekuasaan. Jangan kaget. Bagi mereka, politik adalah soal ‘teknik’ semata. Maka jika yang jenis seperti ini naik ke puncak kekuasaan, jangan kaget pula jika krisis berbangsa perlahan tapi pasti akan semakin telanjang. *** (26-10-2021)

Lupa Sebagai Bangsa