www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-09-2021

‘Bahaya laten’ komunis dan ‘bahaya laten’ kapitalis titik temunya adalah soal keserakahan. Bagi komunis, semestinyalah seperti lebah pekerja itu, bekerja sesuai dengan kemampuan dan mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhan. Bukan keserakahan yang berujung pada bermacam eksploitasi itu. Tetapi bagi kaum kapitalis di sayap ujungnya: greed is good, seperti dikatakan Michael Douglas dalam Wall Street. Jika ditelusuri lebih lanjut baik komunis maupun kapitalis itu sama-samalah sebenarnya berangkat dari bicara soal manusia. Makanya jika bicara soal komunisme dan kapitalisme, bisa-bisa semalam suntukpun belumlah cukup. Di luar perdebatan soal ‘manusia’-nya itu, ada masalah yang sangat perlu diperhatikan seperti dikatakan oleh Abraham J. Heschel dalam Who Is Man (1963, hlmn. 8): ‘teori tentang bintang-bintang tidak akan merubah esensi dari bintang tersebut, tetapi teori tentang manusia akan sangat mempengaruhi adanya.’ Tetapi sejarah telah menunjukkan, baik komunis maupun kapitalis di banyak tempat sama-sama telah mengalami ‘instropeksi’, mawas-diri yang mendalam. Lihat misalnya kapitalisme hari-hari ini ketika dihadapkan pada krisis daya dukung bumi terhadap kehidupan di atasnya, ia seakan dipaksa untuk mawas diri (lagi).

Kata laten sendiri adalah serapan dari bahasa asing, salah satunya berarti lupa, dilupakan. Keserakahan menjadi laten karena sering dilupakan dalam pembicaraan di ruang publik. Seringnya disinggung hanya di mimbar-mimbar keagamaan. Padahal dalam perjalanan sejarahnya soal serakah ini mengalami ‘penghayatan publik’ dalam gejolak yang intens. Serakah dalam konteks pengejaran kepentingan diri itu telah meloloskan diri dari ‘jerat’ agama dan kemudian diterima sebagai bagian dalam diri manusia apa adanya. Dengan segala akibatnya, atau dalam kata-kata lebih lengkap dari Michael Douglas di Wall Street: “Greed, for lack of a better word, is good.” Dan paling tidak 2 abad sebelum abad 21 ini kita melihat bermacam ‘eksperimen’ manusia terkait dengan keserakahan ini. Lengkap dalam perdebatan teoritisnya maupun dengan terang-kegelapan dalam praktek.

Keserakahan manusia dalam mengejar kepentingan diri itu ada yang meyakini bahwa dalam pasar akan otomatis terkendali. Pasar yang akan mengatur dirinya sendiri, swatata. Tetapi yang sering dilupakan adalah akumulasi yang semakin gigantis itu pada akhirnya juga akan merupakan kekuatan tersendiri. Bisa membangun kekuasaannya sendiri. Pada akhirnya keyakinan akan pasar swatata itupun mengalami goncangan yang tidak kecil. Bermacam upaya sudah dilakukan untuk mencegah hal ini terjadi karena bagaimanapun juga pasar masih merupakan jalan utama dalam hal pembagian kekayaan. Di banyak-banyak-banyak tempat. Misal hadirnya undang-undang anti-monopoli itu, atau batasan-batasan dalam pendanaan partai peserta pemilihan, dan bahkan partai-partai itu dibiayai negara secara penuh, dan banyak lagi upaya-upaya lainnya. Itulah mungkin yang dimaksud oleh salah satu dosen dari eks Jerman Timur yang dikutip oleh Ignas Kleden dalam Sosialisme Di Tepi Sungai Elbe, beberapa waktu setelah Tembok Berlin runtuh: ‘kapitalisme itu hanya akan baik jika terus diganggu’. Siapa ‘pengganggu utama’ kapitalisme itu? Atau siapa ‘pengawas utama’ sehingga keserakahan itu tidak kemudian menghancurkan? Siapa yang mesti peka terhadap ‘bahaya laten keserakahan’ itu?

Akhir-akhir ini soal ‘keserakahan’ rasa-rasanya tidak hanya terkait dengan ‘gold’ saja, tetapi juga ‘glory’ dan juga ‘God’. Lihat bagaimana para nasionalis sayap radikal itu di banyak tempat semakin menggeliat saja. Atau juga lihat ulah Trump itu yang dengan ringan-ringan saja mengacungkan Bible demi keuntungan politiknya beberapa waktu menjelang pemilihan. Tetapi apapun bentuk keserakahan itu dari Marx kita mendapat petunjuk yang patut kita perhatikan, kembalilah ke basis, ke relasi-relasi kekuatan produksi itu. Atau jelasnya, berangkat pada soal bagaimana ‘kekayaan musti terbagikan’. Dan dari abad-20 kita bisa belajar bahwa membagi kekayaan dalam ‘paradigma’ sama-rasa-sama-rata itu ternyata terlalu besar biayanya, bahkan mengerikan. Dan sudah tidak laku lagi di abad 21 ini.

Maka di situlah pentingnya bicara politik, bukan perang, bukan juga perang saudara. Atau kediktatoran. Politik yang ‘gentayangan’ di ‘bangunan atas’ itu dimana ia akan ikut memberikan keputusan-keputusannya terkait dengan ‘pembagian kekayaan’ yang semakin fair, semakin menuju berkeadilan itu. Itulah mengapa kita perlu aktor-aktor politik yang jauh-jauh-jauh dari model kacung itu. Model kacung hanya akan mendorong ke-tidak-adil-an saja. Dan seperti ditunjukkan oleh Uskup Dom Helder Camara, ketidak-adilan akan mempunyai potensi besar memicu adanya spiral kekerasan. *** (29-09-2021)

Bahaya Laten Keserakahan