www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-09-2021

Jangan sekali-kali melupakan sejarah, jasmerah, demikian seru si-Bung. Sebuah seruan yang pasti dengan serta merta kita akan menyetujuinya. Tetapi tetaplah itu baru sebagian benar. Ingat perdebatan soal pelajaran sejarah, haruskah itu dalam ‘paradigma’ hafalan saja? Atau lihat beberapa aliran soal ‘tehnik’ penulisan sejarah. Artinya, tidak melupakan sejarah-pun masih meninggalkan pertanyaan: apa-bagaimana itu ‘tidak melupakan’ sejarah? Maka ‘jasmerah’ itu adalah seruan yang jika tidak hati-hati dalam menghayati bisa-bisa hanya jatuh pada soal romantika saja. Kadang sering dilupakan, romantika semestinya juga diletakkan pada jaman yang terus bergerak.

Tentu dalam ‘tidak melupakan sejarah’ berhenti pada romantika saja tidaklah salah juga. Bahkan mungkin sebagian besar dari kita akan menghayatinya seperti itu. Maka adalah penting bagaimana pelajaran sejarah dalam sekolah itu disampaikan oleh para guru. Sehingga masa lalu itu bukanlah sesuatu yang beku karena waktu, tetapi menjadi hal menarik karena dibicarakan beriringan dengan situasi yang terus berkembang. Dalam ‘sekolah publik’-pun kiranya perlu juga diperhatikan hal ini. Di layar televisi kita sering melihat parade kemenangan perang di masa lalu, atau juga di Jepang, peringatan saat dua bom atom dijatuhkan. Kita sebagai manusia memang seakan tidak lepas dari ‘peringatan-peringatan’ itu. “Man is essentially a story-telling animal,” demikian Macintyre pernah menulis. Lihat misalnya dalam kehidupan keagamaan, pastilah tidak lepas juga dengan ‘peringatan-peringatan’ tersebut. Bahkan bisa itu harian, atau mingguan, atau tahunan. Macam-macam. Tetapi band Gigi dalam Amnesia itu juga pernah memperingatkan: sore beriman ..., malam amnesia ..., dendang Armand Maulana.

Kapan kecerdasan buatan (AI) itu akan bisa menyamai kemampuan otak manusia? Atau.., apakah jika keputusan bagaimana harus bersikap setelah kengerian akibat dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki diserahkan pada kecerdasan buatan, akankah Jepang tetap akan menjadi negara maju seperti sekarang ini? Mangunwijaya dalam “Kini Kita Semua Perantau” (1989) menulis hal menarik: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan.”[1] Dan jika salah satu dimensi kuasa itu adalah ‘memerintah’, entah halus atau telanjang, entah langsung atau tidak, bukankah sejarah, masa lalu itu juga mempunyai kemampuan ‘memerintah’ kita yang hidup di masa kini juga? Artinya, masa lalupun bisa berubah pula menjadi bagian erat dari kekuasaan. Maka ungkapan dari Mangunwijaya itupun bisa kita hayati sebagai: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan masa lalu” –dalam konteks kuasa yang digendong masa lalu itu. Dan terutama di sini adalah masa lalu yang penuh kegelapan, yang mana setiap komunitas akan mempunyai ‘kegelapan’-nya sendiri-sendiri mestinya.

Maka sebagai bagian dari ‘bangsa yang belum selesai’, sifat, watak, wajah, dan suasana hidup bersama seperti apakah yang akan kita bangun ke depannya? Apakah benar kita bangsa yang penuh dengan segala dendam? Atau bangsa yang bisanya ngibul doang? Di sana nipu di sini nipu dimana-mana kerjanya nipu doang? *** (28-09-2021)

 

[1] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302

Jasmerah dan Rodinda-nya