www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-09-2021

Manusia adalah manusia yang bermain, demikian kesimpulan Johan Huizinga setelah melakukan penelitian di bermacam komunitas hampir 90 tahun lalu. Huizinga menemui bahwa di banyak komunitas itu ada yang sama, yaitu sama-sama akrab dengan permainan. Dalam banyak hal tak jauh dari dunia binatang, bermain seakan sebuah insting saja. Kesempatan luas dalam bemain ketika masih anak-anak nampaknya juga akan memberikan endapan-endapan ingatan yang mungkin saja akan sangat berguna ketika ia menapak dunia dewasa. Bahkan saat dewasapun bukan berarti homo ludens itu melenyap digantikan semata sebagai homo faber saja, misalnya.

Bermain di dunia dewasa tidak hanya soal keseimbangan ketika ia memasuki dunia ‘homo faber’. Tetapi adalah soal bagaimana ia mampu hidup dengan manusia lain dalam dunia sosial yang lebih luas. Nuansa ‘dunia permainan’ inipun dipakai dalam beberapa hal, dalam bahasa misalnya kita mengenal soal ‘permainan bahasa’, seperti diajukan oleh Wittgenstein. Belum lama ini terbit buku yang juga memakai ‘nuansa permainan’: The Status Game: On Social Position and How We Use It, karangan Will Storr, terbit pertamakali September 2021 ini. Penulis sendiri belumlah membaca buku tersebut, tetapi dari judul buku itu sendiri bermacam imajinasi bisa kita kembangkan.

Bahkan di komunitas dengan power distance rendahpun masalah ‘status’ bisa menjadi bahasan yang menarik, apalagi pada komunitas dengan power distance tinggi. Apalagi jika ditambah feodalisme masih terasa kental nuansanya. Tetapi bukankah menurut Alvin Toffler kita sudah masuk ke era Revolusi Informasi dimana kekuatan pengetahuanlah yang akan dominan? Pengetahuan yang jika dibandingkan dengan kekuatan kekerasan dan kekuatan uang itu sebenarnya lebih ‘demokratis’ sifatnya? Atau mengapa di komunitas yang di depan hidungnya itu berdiri sebuah ‘laboratorium raksasa’ untuk mencari yang disebut sebagai ‘partikel Tuhan’, atau juga ‘laboratorium raksasa’ untuk mencari apa yang disebut sebagai ‘gelombang gravitasional’ itu masih juga mempermasalahkan soal ‘status’ dalam hidup bersamanya?

Dalam banyak hal kita bisa melihat bagaimana begitu cepatnya ilmu pengetahuan itu ‘berlari’. Sebagian besar dari kita mungkin baru pertama kali mendengar bahwa virus-pun bisa direkayasa, misalnya. Tetapi apakah perkembangan ilmu pengetahuan itu kemudian menjadi berbanding lurus dengan berkembangnya peradaban? Bukankah kita bisa melihat dari sejarah majunya bermacam ilmu pengetahuan itu justru bisa menghancurkan peradaban? Lihat bagaimana perang-perang itu terjadi dengan segala akibatnya. Penuh pamer kemajuan ilmu pengetahuan. Bagaimana jika terjadi perang antara AS dan sekutunya melawan Rusia-China dan sekutunya sekarang ini? Rasa-rasanya tidaklah cukup hanya mengatakan bahwa berkembang-pesatnya ilmu pengetahuan itu memang berwajah ganda. Permasalahan sebenarnya bisa dilanjutkan, di tengah-tengah ke-ganda-an wajah ilmu pengetahuan itu, adakah sesuatu yang perlu diperhatikan?

Akan lebih bermanfaat jika kita melihat ‘wajah janus’ perkembangan ilmu pengetahuan itu sebagai sebuah ‘gerak’. Di satu sisi gerak ‘menghancurkan’ dan lainnya gerak ‘mendorong ke kebaikan’. Ketika penghayatan sehari-hari kebanyakan orang ‘dilupakan’ maka ilmu pengetahuan bisa-bisa sedang mendekat pada sebuah ‘penghancuran’. ‘Pelupaan’ yang kemungkinan besar didorong dengan bermacam klaim ‘keunggulan-mutlak’ metode-metode yang dijalani oleh ilmu pengetahuan itu. Padahal di satu sisi kesadaran manusia itu bukanlah kesadaran yang ‘selalu siap diisi apa saja’ termasuk bermacam klaim di atas, kesadaran bukanlah bagai wadah kosong, tetapi kesadaran selalu akan berupa kesadaran tentang sesuatu. Ia akan selalu terarah akan sesuatu. Dan dengan ini pula perlahan ia ‘membangun dunia’-nya, membangun ‘horison’-nya, membangun tempat dia kemudian akan berakar. Tetapi pada saat yang bersamaan, manusia-pun bisa menghayati apa itu ‘yang tak terbatas’. Ia bisa menghayati kematian sebagai ‘batas-horison’ dari keberadaannya di dunia ini, tetapi pada saat bersamaan iapun bisa menghayati bahwa setelah kematian ada kemungkinan yang tak terbatas. Ketika ia ‘sadar akan sesuatu’, apa-apa yang tersimpan mengendap dalam kesadaran sebelumnya-pun bisa dikatakan mempunyai spektrum yang tidak terbatas juga, yang sangat mungkin itu akan juga mempengaruhi dalam penghayatannya akan sesuatu itu.

Tetapi ‘sesuatu’ yang kita sadari itupun bukanlah sesuatu yang bisa kita perlakukan ‘semena-mena’ dalam proses kesadaran kita, ia –sesuatu itu, akan ‘memberikan dirinya’ dengan cara-cara yang ‘khas’. Sebuah kubus di hadapan kita akan memberikan dirinya pada kita hanyalah satu sisi saja, atau dua sisi saja. Kita bergeser maka ‘yang diberikan’ kubus  pada kitapun akan lain pula. Sedang sisi-sisi lainnya seakan ‘tersembunyi’. Tetapi meski begitu dalam banyak hal berdasarkan apa-apa yang kita alami di masa lalu, kita bisa ‘taken for granted’ saja menyimpulkan bahwa itu adalah kubus, tanpa melihat sisi-sisi lainnya lagi. Sebagian besar hidup kita akan kita jalani dengan modus seperti itu, akan melelahkan jika segala hal kita lihat dulu dari bermacam sisinya.

Pandemi hampir dua tahun berjalan ini memberikan banyak pelajaran pada kita semua. Kita menjadi lebih paham bagaimana pengetahuan bisa mengancam peradaban, misal jika terbukti bahwa COVID-19 itu ternyata hasil rekayasa dan sengaja dilepas, misalnya. Tetapi kita juga melihat bagaimana ilmu pengetahuan bisa menyelamatkan atau mengembangkan peradaban. Dalam konteks pandemi ini, bagaimana ilmu pengetahuan bisa sebagai ‘pengubah permainan’ yang signifikan. Ada masalah, bagaimana perkembangan pengetahuan ini bisa menjadi bagian dari ‘dunia’ kebanyakan orang? Inilah sebenarnya ruang dimana si-‘minoritas kreatif’ diperlukan kehadirannya. Ia tidak hanya soal bagaimana ilmu pengetahuan dikembangkan dalam melawan pandemi, tetapi juga bagaimana ia bisa sebagai ‘model’ yang akan ditiru oleh banyak orang itu. Bagaimana ia tidak hanya berusaha ‘memajukan horison’ khalayak, tetapi juga dapat menjadi salah satu ‘sumber refleksi’ khalayak sehingga katakanlah, tidak jatuh pada situasi ‘hipokognisi’.

Tetapi bagaimana jika yang hadir bukan si-‘minoritas kreatif’ tetapi justru si-‘minoritas dominan’, meminjam terminologi Arnold J. Toynbee? Yang dalam dunia demokrasi-nya si homo ludens justru sukanya ‘mempermainkan permainan’ itu? Yang atas nama supaya ‘khalayak tidak panik’ terus bermunculan celotehan tidak mutu itu? Bahkan sampai ada yang profesorpun kemudian mau-maunya goyang ubur-ubur! Atau juru bicara istana itu terus saja menebar omongan yang sungguh rendahan. Tidak hanya ranah yang dipermainkan, tetapi khalayak si-pembayar pajakpun serasa dipermainkan terus tiada henti. Sungguh benar yang dikatakan Toynbee itu, kehancuran peradaban salah satunya adalah ketika si-‘minoritas kreatif’ itu berubah menjadi si-‘minoritas dominan’. ‘Permainan’ demokrasi tidak hanya berhenti pada ‘mempermainkan permainan’ saja, tetapi perlahan tapi pasti sudah menjadi ‘permainan yang dipersungguh’. Bukan lagi, bahkan berkebalikan dari yang seharusnya, bermainlah dengan sungguh-sungguh. Dalam ‘kesungguhan bermain’, martabat manusia akan selalu dijunjung. Tetapi dalam ‘permainan yang dipersungguh’, bahkan nyawa manusiapun bisa gampang melayang. Dan dalam praktek bahkan sudah bukan lagi ‘permainan demokrasi’, tetapi lebih ‘permainan status’. Permainan bagi siapa saja untuk masuk dalam status ‘kaum bangsawan’ mereka. Karena dalam imajinasi mereka hanya akan dua golongan manusia, ‘kaum bangsawan’ dan ‘raja’-nya, serta ‘sisa’-nya, kaum hamba-sahaya. Dan tugas utama setelah masuk dalam status ‘kaum bangsawan’ adalah: mengendalikan ‘sisa’-nya yang begitu banyak itu. Dengan bermacam caranya sesuai arahan ‘sang sutradara’. *** (16-09-2021)

Homo Ludens