www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-09-2021

'Level vegetatif' republik adalah saat jiwa res-publica itu terasa gersang tak terawat. Yang penting kebutuhan minimum tubuh terpenuhi sehingga organ-organ tubuh tetap berfungsi, kecuali kesadaran yang terus saja dalam keadaan (dibuat) koma. Maka tak mengherankan pula pada 'level vegetatif' ini jika dukungan nutrisi yang serba pas hanya untuk bertahan hidup itu, ‘dikurangi’ sedikit saja maka kondisi akan menurun drastis. Apalagi jika dicabut semuanya.

Jiwa republik adalah juga soal ‘menegara’ –meminjam istilah Driyarkara. ‘Menegara’ adalah juga soal hadirnya ruang-ruang dialog yang didasari oleh adanya kebebasan. Dalam banyak hal, istilah ‘kebebasan akademik’ di ranah pendidikan itu sebenarnya bisa dihayati pula sebagai salah satu indikator yang peka terhadap kebebasan dalam proses ‘menegara’. Kalau ‘kebebasan akademik’ di ranah pendidikan saja sudah ‘diganggu’ maka sebenarnya kita sudah harus ‘waspada’ bahwa proses ‘menegara’ bisa berjalan dengan pincang.

Atau coba kita lihat bersama ‘penampakan’ yang dipicu bebasnya dari penjara seorang penyanyi dangdut -masuk penjara karena kasus pedofilia. Sebut saja si-SJ. Ada dua peristiwa, yang satu menunjukkan bagaimana bebasnya si-SJ itu disambut oleh beberapa orang layaknya ‘pahlawan’ saja, dikalungi bunga dan seakan habis menang perang saja. Kedua, petisi boikot terhadap media yang menayangkan si-SJ itu. Hari-hari ini sudah tembus lebih dari 400.000 orang mendukung petisi tersebut. Bagaimanapun kita tidak bisa melarang kumpulan orang-orang tidak bermutu itu merayakan peristiwa yang juga tidak bermutu, maka kontra terhadap ketidak-mutuan itu mesti juga harus muncul, antara lain petisi tersebut. Pada dasarnya politik adalah semacam itu, ia ada dalam suatu gerak untuk ‘terjun ke dasar kegelapan’ dan gerak untuk ‘naik ke atas’, katakanlah pada sebuah cita-cita bersama. Orang bisa meyakinkan bahwa politik dalam praktek itu ada dalam wilayah ‘abu-abu’, tetapi apapun itu ia atau pendapat tersebut tidaklah melenyapkan dua gerak di atas. Bukan masalah hitam, putih, atau abu-abu, tetapi memang praktek berjalan ranah politik semestinya merupakan konsekuensi langsung dari etika. Sebab ruang di antara ‘terjun ke dasar kegelapan’ dan ‘naik ke atas’ itulah etika akan mendapatkan ruangnya. Mau disebut hitam, putih, abu-abu, atau apalah mau disebut, ranah politik pada akhirnya ia harus mau diletakkan dalam ‘ruang persidangan etika’. Katakanlah hidup dalam kapitalisme misalnya, soal pilihan untuk ‘lebih ke kanan’ atau ‘lebih ke kiri’ itu adalah pilihan-pilihan etis juga.

Coba kita bayangkan lagi kasus si-SJ di atas, dan kemudian yang terjadi adalah petisi boikot tayangan si-SJ itu dilarang. Bahkan inisiator-petisinya kemudian diburu untuk ditangkap! Atau katakanlah ada mural boikot TV yang menayangkan si-SJ, dan kemudian si pembuat mural diburu selain muralnya sendiri pagi-pagi sudah dihapus aparat. Jika itu terjadi di ranah negara, maka ‘menegara’-pun akan terasa pincang. Selain kebebasan terganggu, ruang dialog-pun akan menyempit pula. Atau anda sakit dan pergi ke dokter? Bayangkan begitu anda masuk ruang praktek langsung saja ditimbang oleh asisten, diukur suhu tubuh, ditensi, dan kemudian dibawa ke ruang rontgen, terus diambil darah untuk dikirim di laboratorium. Setelah selesai anda disuruh menunggu di ruang tunggu, selang 1 jam katakanlah, dipanggil lagi dan dijelaskan soal penyakit, diagnosis, dan rencana pengobatan, apa yang anda rasakan? Mungkin anda protes kok tidak ditanya-tanya sama sekali. Bagaimana jika kemudian dokter menjelaskan bahwa apa yang dirasakan pasien itu sifatnya lebih subyektif saja, sedang segala pengukuran-pemeriksaan di atas adalah terukur-obyektif, jadi lebih bisa dipercaya. Dan dokter itu kemudian mengatakan bahwa hasil-hasil pemeriksaan yang terukur itulah fakta sebenarnya, ‘dunia yang riil’, sedangkan apa yang dirasakan oleh pasien itu bukanlah fakta sebenarnya, ‘dunia ilusi’ saja. Benarkah begitu?

Tentu hal di atas hanya pengandaian saja sebab apapun alasan pasien masuk ruang praktek, pada dasarnya langkah pertama dari dokter adalah anamnesis, menggali apa-apa yang dirasakan oleh pasien dengan memberikan keleluasaan pasien menceritakan masalahnya. Dalam proses ‘pengungkapan’ apa-apa yang dirasakan oleh pasien inilah sebenarnya mulai tumbuh apa yang bisa disebut sebagai ‘tanggung-jawab’ ini. Dengan ‘membiarkan’ pasien mengungkap diri dengan cara-cara ‘khas’-nya secara tidak langsung sebuah tanggung jawab juga digendong oleh pasien, demikian juga dokter yang pertama-tama mengambil sikap pasif itu. Sik-dokter maupun pasien sama-sama ada dalam ruang antara, bagi si-pasien ruang antara menyembunyikan apa-apa yang dirasakan dan mengatakan sesuai dengan kemampuannya untuk mengatakan semua yang dirasakan. Bagi dokter, ruang antara ‘sok’ tahu dengan tidak mau mendengar keluhan, harapan pasien, dengan mau bersikap pasif dulu untuk mendengarkan semua keluhan pasien.

Atau jika kita bicara soal pendidikan dasar, apakah sudah semestinyalah kita bicara soal kompetensi yang kemudian muncul dari bermacam ‘ukuran’ itu? Bukankah lebih mendasar kita bicara soal potensi, soal keunikan masing-masing anak? Pendidikan dasar di Finlandia telah banyak diakui kualitasnya, dan bermainlah dasar dari pendidikan dasar, terutama bagi usia di bawah 7 tahun. Bagi yang mau belajar nulis, silahkan, menggambar, silahkan, ‘penthalitan’ sana-sini, silahkan. Juga tidak ada kenaikan kelas yang menakutkan. Anak-anak itu memperoleh ruang dan waktu seluas-luasnya dalam proses pengungkapan dirinya. Dan dari situlah juga nampaknya tanggung jawab mulai dikembangkan, tanggung jawab atas ‘pilihan’-nya sendiri-sendiri. Guru pendamping-pun tidak terus menjadi yang paling tahu soal keunikan masing-masing anak. Dan bayangkan, ‘kedalaman’ kompetensi yang bagaimanakah nantinya jika itu didasari oleh potensi yang sesuai?

Maka ‘merawat jiwa’ res-publica itu adalah, sekali lagi: soal menegara. Perjalanan bersama dalam kebebasan berdialog. Kesadaran tentu juga tidak akan lepas dari yang disadari, sadar mestinya sadar akan sesuatu. Dan ‘sesuatu’ itu bisa beragam bentuknya. Tetapi bagaimanapun juga ‘sesuatu’ itu hanya akan menampakkan dirinya hanya pada satu sisi saja. Maka perlu upaya lebih untuk melihat sisi-sisi lainnya. Inilah mengapa dialog itu penting untuk melihat lebih dalam lagi republik dari bermacam sisi, aspek, profilnya. Tetapi bagaimana akan terjadi dialog jika perut kosong? Dialog pastilah tidak terjadi di ruang kosong. Bangsa yang belum selesai, demikian kira-kira judul buku Max Lane beberapa waktu lalu, bisa memberikan gambaran tidak vakumnya ruang dialog itu. Hidup bersama yang terus-menerus dialami oleh peserta dialog. Termasuk juga pengalaman perut kosong itu misalnya. Tentu pada titik tertentu mesti ada ‘kesimpulan sementara’ dari dialog, misal melalui pemilihan itu.

Jika ‘ruang dialog’ itu mengalami pembusukan melalui bermacam rute-nya, maka ‘jiwa-republik’-pun akan mengalami pembusukan juga. Ketika ‘ruang-antara’ itu semakin sempit dan membusuk, pilihan-pilihan etis-pun akan melenyap pula. Politik-pun kemudian berkembang tidak sebagai konsekuensi lebih lanjut dari masalah-masalah etika lagi. Maka tidak mengherankan pula yang semacam glorifikasi bebasnya si-SJ itu –seperti dicontohkan di atas, seakan melenggang sendirian dan membuat hidup bersama serasa terus menerus meluncur ke bawah saja. *** (08-09-2021)

'Level Vegetatif' Republik