www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-08-2021

Menurut Hofstede, suatu komunitas dengan power distance tinggi ia akan cenderung lebih menerima ketidak-samaan kuasa sekitarnya. Ia akan lebih mudah menerima kuasa di atasnya tanpa banyak ‘rèsèh’ lagi, tanpa banyak usil mempertanyakan lagi. Maka adalah tepat sekali ketika Reformasi dalam salah satu langkah mengembangkan demokrasi yang diangankan semakin maju itu kemudian memberikan batas maksimal 2 periode pada jabatan presiden. Jika dilihat dari temuan Hofstede di atas, dimana republik termasuk dalam komunitas dengan power distance tinggi itu bisa-bisa akan mudah masuk atau bergeser atau terjerembab dalam ‘rasa monarki’ bahkan tirani jika tidak dibatasi masa jabatan seorang presiden. Pelajaran masa lalu memberikan banyak hal tentang ini. Pelajaran tentang mahalnya biaya-biaya kemanusiaan, biaya sosial dalam bermacam bentuk yang harus ditanggung hidup bersama dalam waktu yang lama. Maka bagi siapa saja yang bermain-main soal 3 periode atau perpanjangan masa jabatan itu haruslah berpikir panjang. Terutama di sini adalah yang mampu menggerakkan sumber daya kekerasan, angkatan yang bersenjata itu. Dia harus tegas dengan mengatakan, tidak.

Apakah kita bisa membayangkan berapa persen pertumbuhan jika korupsi, kolusi, nepotisme itu berhasil dikendalikan? Tidak hanya soal pertumbuhan saja tetapi bisa juga sebuah pertumbuhan yang mempunyai potensi mengikis ke-tidak-adil-an itu. Suka-tidak-suka dengan mempratekkan bermacam hal yang menjadi dasar apa yang disebut dengan kapitalisme itu, jalan yang kita tapak adalah jalan kapitalisme. Masalahnya adalah, kapitalisme yang seperti apa? Kapitalisme yang berkeliaran di ganasnya rimba atau dengan bermacam rambu konstitusi yang harus ditaati? Rambu konstitusi yang harus ditegakkan? Dari Pembukaan UUD 1945-pun kita bisa meraba bahwa pastilah bukan kapitalisme ultra-minimal state yang akan kita jalankan. Tetapi apa itu kemudian ‘kapitalisme gotong royong’? Kapitalisme khas nusantara? Atau kapitalisme kroni yang bisa begitu lekat dengan nuansa pat-gu-lipat kong-ka-li-kong itu?

Maka pertama-tama yang harus kita lakukan adalah terima dulu bahwa kapitalismelah jalan yang kita tapak. Tidak usah malu-malu, faktanya seperti itu. Tidak usah sok-sok-an anti-anti-an kapitalisme karena sebenarnya jalan itu yang kita tapak. Masalahnya bukan anti-kapitalisme atau sekitarnya, tetapi bagaimana ‘menjinakkan’ kapitalisme ini supaya tidak berkembang menjadi binatang yang begitu jahatnya. Ignas Kleden beberapa saat setelah Tembok Berlin runtuh menulis sebuah artikel di Kompas (6 Juli 1996) : Sosialisme Dari Tepi Sungai Elbe, sebuah tulisan dari perbincangan dengan seorang dosen sebuah universitas eks Jerman Timur. Ditulis oleh Kleden: “Ini suatu pengandaian saja. Kalau anda diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat sosialis setelah beberapa tahun mengenyam kehidupan dalam sistem kapitalis, yang manakah yang anda pilih?”

Diam sebentar, menarik napas, lalu berkata dengan tenang: “Saya termasuk orang yang tidak berandai-andai dengan sejarah. Sejarah berjalan, membawa perkembangan baru dan kita harus siap menghadapinya secara realistis. Tidak ada jalan kembali. Tidak ada pilihan lain. Tetapi kita dapat belajar sesuatu dari sejarah. Dan sejauh ini ada satu pelajaran yang ingin saya kemukakan kepada anda. Masyarakat sosialis itu baik selama tidak ada sistem lain yang menjadi saingan atau musuhnya. Orang-orang di Timur sebetulnya puas dengan kehidupan mereka, kalau saja tidak ada sistem kapitalis yang menggoda mereka dengan kemakmuran dan kebebasan. Dan itu sebabnya masyarakat sosialis cenderung menjadi masyarakat tertutup, juga dengan maksud melindungi para warganya dari godaan yang tidak perlu.”

“Sebaliknya, masyarakat kapitalis itu baik selama ada sistem lain yang menjadi musuh atau saingannya. Perbaikan nasib buruh, pemerataan pendapatan secara relatif di Barat, sistem asuransi kesehatan, jaminan hari tua, uang pengangguran, dan berbagai jaminan lain, tidak akan lahir di Barat kalau tidak ada tekanan dari sistem sosialis. Tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme hanya akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia. Jadi kesimpulannya: sistem kapitalis itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain.”

Apakah hanya berhenti sampai dengan itu saja? *** (14-08-2021)

Dari Proklamasi ke Reformasi (2)