www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-08-2021

Katakanlah setelah 120 tahun-an, ketika keterusikan terhadap adanya penjajahan itu semakin meluas sedikit-demi-sedikit. Dan ‘tema’ utama sebenarnya tidaklah berubah sampai sekarang: ke-tidak-adil-an. Pada suatu titik tertentu kemudian muncul kesadaran bahwa untuk menghilangkan ke-tidak-adil-an itu perlulah kemampuan memutuskan yang terbaik bagi diri. Menjadi merdeka dulu kemudian ke-tidak-adil-an barulah mempunyai kesempatan lebih untuk ‘dikelola’. Itupun setelah kesadaran akan adanya ke-tidak-adil-an itu telah menjadi kesadaran banyak orang. Ke-tidak-adil-an ini adalah soal rasa-merasa pertama-tamanya, maka bisa dikatakan penghayatan akan adanya ke-tidak-adil-an inilah sangat mungkin sebagai embrio-nya bola salju kesadaran akan kemerdekaan.

Tetapi bagaimana ke-tidak-adil-an ini dilawan setelah Proklamasi? Setelah ada di seberang jembatan emas? Dari Pembukaan UUD 1945 kita bisa menghayati bahwa ke-tidak-adil-an itu dilawan dengan (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Siapa yang terutama memperjuangkan ke-empat hal di atas? Kembali kita ke Pembukaan UUD 1945, dan itu adalah: pemerintah negara Indonesia. Bagaimana kemudian membentuk pemerintah negara Indonesia itu? Melalui rejim mono-arki, atau aristo-krasi, atau demo-krasi, atau lainnya? Dari perjalanan sejarah 76 tahun ini kita semakin yakin bahwa jalan demokrasi-lah yang akan ditapak oleh republik.

Masalahnya demokrasi dalam praktek tidaklah ada di ruang kosong. Meski ada banyak ‘penyederhanaan’ di sana-sini, 76 tahun demokrasi di republik bisa kita lihat dari kacamata van Peursen dalam Strategi Kebudayaan-nya. Sehingga bisa dikatakan, katakanlah jaman old old, demokrasi lebih terhayati dalam suasana mitis-nya –tuh lihat misalnya bahkan sampai ada keinginan soal ‘presiden seumur hidup’ itu, jaman old lebih dalam nuansa ontologis –katakanlah lebih pada prosedur pemilihan dan setelahnya itu, dan jaman now diangankan demokrasi masuk ke tahap fungsionilnya –lebih dari sekedar prosedur-prosedurnya. Masing-masing tahap tentu punya ‘distorsi’-nya sendiri menurut van Peursen, seperti misal jaman old itu, bagaimana ‘distorsi’ dari ‘pokoknya ada pemilihan’ yang prosedurnya sudah ini-dan itu, maka diklaimlah sudah sah-demokratis. Dan kita tahu dari bermacam catatan sejarah, ada masalah ke-tidak-adil-an kronis di belakangnya.

Bagi para penggerak di awal-awal abad 20, abad 19 dan bagian awal abad 20 akan memberikan pelajaran yang melimpah. Tidak hanya pelajaran tetapi juga perlahan membangun kesadaran pula. Tidak hanya kesadaran tetapi juga bermacam imajinasi bagaimana soal ke-tidak-adil-an ini mesti dihadapi. Demikian pula kita yang sedang hidup di bagian awal abad 21 ini, bermacam hal masa lalu, sekarang, dan yang potensial ke depan mestinya bisa memberikan pelajaran bagi kita, terutama dalam menghadapi ke-tidak-adil-an yang seakan masih terus menerus lekat membayang itu. Dari bermacam catatan sejarah itu kita juga semakin diyakinkan bahwa soal demokrasi itu bukanlah semata soal ‘sudut-penghayatan’ seperti disinggung melalui pendapat van Peursen di atas, tetapi adalah soal bagaimana ‘relasi-relasi kekuatan produksi’ itu bergejolak di ‘basis’. Dan dari soal ini juga, dua setengah abad lalu terhitung dari saat kita mengambil nafas saat ini, telah memberikan juga banyak pelajaran. Dari bermacam yang kemudian dilekatkan dengan nama ‘revolusi’ itu sampai dengan yang tidak mau disebut sebagai ‘revolusi’. Macam-macam. Kita juga bisa melihat bermacam dinamika komunitas lain, yang ‘berhasil’, yang ‘biasa-biasa’ saja, dan yang ‘gagal’. Macam-macam.

Kita mungkin saja bisa berandai-andai untuk mewawancarai komunitas-komunitas yang sempat terjerumus dalam ‘kegelapan’, entah karena karena perang atau lainnya, dan sekarang bisa dikatakan ‘berhasil’ itu. Kira-kira apa jawaban mereka? Jangan-jangan jawaban mereka mirip-mirip: kuncinya adalah menghindari apa yang mungkin saja mereka sebut sebagai: sindrom Jakarta. Plesetan dari sindrom Stockholm itu. *** (09-08-2021)

Setelah 76 Tahun