www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-07-2021

Kenapa warga negara yang terhormat dan pembayar pajak itu harus puas, harus mau menerima dengan lapang dada dengan ditampilkan oleh si-pemungut pajak si-Ngabalin itu? Si-Fajroel Rachman itu, misalnya juga? Tidak ada yang lebih baik dari mereka? Tidakkah wajar jika si-pembayar pajak mengharapkan ditampilkannya yang terbaik dari yang terbaik di ruang publiknya? Atau coba guyonan yang beredar di media sosial itu, ketika ada seorang yang dirasa-rasa sedang ‘cari muka’ di depan penguasa langsung saja komentarnya: komisaris! Tidak ada asap tanpa api, komentar warga digital itu bukanlah mendadak saja.

Padahal Machiavelli dan pemikir lainnya sudah memperingatkan bahaya terlalu banyaknya para penjilat di sekitar istana. Maka pertanyaannya, ketika justru sekitar istana menjadi surga-nya kaum penjilat, ada apa dengan istana? Bukankah jaman old itu juga runtuh di era ‘atas petunjuk bapak’? Jangan-jangan penampakan dari hadirnya surga kaum penjilat ini adalah juga peringatan akan naiknya potensi runtuhnya bukan hanya rejim-nya, tetapi juga republiknya? Pertanyaan wajar muncul ketika nuansa relasi patron-klien itu masih begitu kuatnya, dan pada saat bersamaan, bagaimana jika setting-background sudah sangat berbeda jika dibandingkan antara jaman old dan jaman now seperti sekarang ini?

Maka bermacam kemungkinan muncul ketika surga kaum penjilat itu hadir di depan publik. Tiba-tiba saja ini sudah bukan lagi urusan jilat-menjilat. Bukan lagi soal ‘daya tahan’ rejim. Lebih dari soal kualitas hidup bersama, soal taste hidup bersama yang sedang di-obok-obok. Tetapi sudah soal daya tahan republik. Sudah soal penguasaan. *** (28-07-2021)

Surga Kaum Penjilat (1)