www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19-07-2021

Bagaimana jika wabah ‘tersesat’ di sarang penyamun? Mungkinkah ia (wabah) justru akan menjadi sekutu? Mengapa tidak? Lihat apa yang diungkap oleh David Harvey dengan salah satu bentuk accumulation by dispossession-nya kaum neolib itu: manipulasi krisis. Yang juga dibeberkan dengan cetho oleh Naomi Klein dalam The Shock Doctrine. Apakah omnibus law itu misalnya, akan berjalan dengan lancar-lancar saja jika diproses di luar krisis wabah? Atau yang dikatakan Carl Schmitt hampir seratus tahun lalu itu: “Sovereign is he who decides on the exception.” Lha kalau si-sovereign itu kebanyakan adalah gerombolan penyamun? Bisa semakin ugal-ugalan.

Tetapi ketika gerombolan penyamun itu bersarang dalam sebuah ‘negara berdasarkan hukum’ maka ia-pun harus ber-siasat lain. Taktik-strategi utama yang abadi sejak dulu adalah, ambil itu kuasa. Dan setelah kuasa di tangan, ‘negara berdasarkan hukum’ itu kemudian diubah ‘suasana kebatinan’-nya, dengan menetapkan paradigma baru soal hukum: hukum dan bahkan juga keadilan adalah masalah siapa yang berkuasa. “Justice is nothing but the advantage of the stronger,” demikian diulang-ulang terus salah satu pendapat Thrasymachus hampir 2500 tahun lalu itu. Maka keadilan dan hukum-pun berkembang dengan pokrol bambu-nya. Tanpa beban.

Tetapi ke-penyamun-annya pastilah cepat atau lambat akan mempengaruhi opini publik. Bau busuk itu serapi-rapinya disimpan akan tercium juga. Maka bermacam tirai asap, atau alih isu, atau apapun itu akan sangat diperlukan untuk menyembunyikan bau busuk itu. Bau busuk menyengat itu. Maka wabah bagi kaum penyamun itu adalah sebuah berkah, tak jauh dari kaum neolib itu melihat krisis, krisis adalah juga kesempatan emas dalam obsesi akumulasinya. Berkah wabah bagi kaum penyamun tidak hanya bisa sebagai tirai asap penyembunyi bau busuk, tetapi juga –bahkan terlebih, adalah kesempatan emas memaksimalkan ‘bakat alamiah’ mereka: ngerampok, ngunthet, ngutil, maling, pat-gu-li-pat, mburu rente.

Maka ketika para penyamun itu sudah ambil kuasa, dan tiba-tiba saja wabah menerjang, segera saja ‘sekutu idaman’ seakan membayang lekat. ‘Sekutu idaman’ itu salah satunya adalah krisis itu. Bagaimana dengan khalayak di luar lingkaran ke-penyamun-an mereka? Mereka akan bilang herd immunity, dan bagi kaum penyamun, mereka-mereka itu: herd impunity, dan kalau perlu dengan undang-undang! Dalam soal etik, herd immunity bukanlah check kosong alamiah saja. Tetapi sebenarnya adalah sebuah ‘konsekuensi yang tidak diharapkan’ dari sebuah langkah-langkah serius dalam menangani kesakitan dan kematian. Maka meski herd immunity itu adalah out-come yang dibayangkan, tetapi yang utama adalah proses-nya, bagaimana memerangi kesakitan dan kematian itu.

Tetapi sebuah proses akan sangat dipengaruhi oleh input-input-nya. Yang sering kita dengar adalah, garbage in garbage out: masalah input. Kegilaan para penyamun dalam ber-sekutu dengan wabah ini, ia tidak hanya memainken input saja, tetapi juga di proses dan out-put-nya. Persis saat pemilu curang, dimainkenlah input-proses, dan outputnya itu. Katakanlah, bahkan data-data-pun akan dimainken. Atau jualan vaksin di tengah-tengah wabah yang sedang menggila. Tidak etis, demikian WHO menandaskan. Tetapi apakah para penyamun itu punya etika? Belum soal input, bagaimana uang dalam jumlah gigantis-nya itu misalnya, digangsir dalam bermacam-macam rutenya. Bangsat-lah.

Di mata para penyamun, khalayak adalah warga kelas dua. Mereka, sadar atau tidak, seakan sudah merasa diri sebagai kaum bangsawannya hidup bersama, di luar mereka sekali lagi, warga negara kelas dua. Bermacam ‘keistimewaan’ mereka dalam korupsi, ngerampok, maling, ngunthet, ngutil, mark-up, kong-ka-li-kong, data ganda, data fiktif, data misterius, seakan sudah membaptis dirinya sebagai ‘kelompok superior’ di mata hukum. ‘Relasi-relasi kekuatan produksi dengan mempermainkan hukum’ yang dijalaninya itu telah membangun sebuah ‘ideologi’ ke-superioritasan atas hukum. Bahkan ketika ada yang dapat ‘giliran’ ditangkap-pun mereka masih saja bisa cengèngèsan.

Di luar mereka adalah warga kelas dua, tiga, empat, dan seterusnya: warga yang harus taat hukum. Bahkan ketika minta maaf-pun, hanya wakil bangsawanlah yang akan maju. Sik-raja tidak-lah mungkin minta maaf, cukup hulubalang-nya saja. Itu-pun pasti akan dilakukan dalam bayang-bayang bahwa di depannya itu adalah warga kelas dua, tiga, empat, atau bahkan rakyat jelata saja –para hamba. Maka tidak perlu-lah memandang mereka, memandang mata mereka. Emang loe siapa, demikian pikir wakil bangsawan itu? Tidak percaya bahwa itu mungkin terjadi? Lihat misalnya tilikan cerdas dari Cuk-JSG di suatu komunitas hidup bersama itu, pada suatu hari, pada suatu situasi tertentu: “Pak Luhut .. bicara itu mata menatap ke yang diajak bicara, Pak .. itu standar etika/rasa/lubuk hati .. sekali2 aja lihat text yg sudah harus agak dihapal prinsip2nya.. patokan curi2 baca barisnya adalah jempol kiri kanan yg terus bergeser ke bawah sesuai barus yg dibaca.[1] *** (19-07-2021)

 

[1] https://twitter.com/sudjiwotedjo

/status/1416618893259407362

Wabah Di Sarang Penyamun