www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-07-2021

Di dalam rejim yang disesaki laku korup, ngemplang, mark-up, kong-kali-kong, pat-gu-li-pat, pemburuan rente, data ganda, data fiktif, data misterius, ngutil-ngunthet-nggaglak-nguntal-maling-rampok, mafia, masihkah relevan bicara soal etika? Atau pertanyaan bisa dibalik, jangan-jangan dalam rejim seperti itu, etika sedapat mungkin dipinggirkan lebih dahulu, atau bahkan dikubur! Mengapa? Ada yang bilang etika itu mendahului hukum. Atau mungkin bisa kita katakan juga, hukum akan terhayati dengan out-come semestinya jika dan hanya jika penghayatan soal etika berkembang lebih dahulu? Artinya adalah, jika kita bicara soal penegakan hukum misalnya, maka akan terasa ‘hambar’ jika soal etika ini begitu tipis dalam kehidupan sehari-harinya, terlebih pada ‘stake-holder’ utamanya. Ke-‘hambar’-an yang bisa-bisa membuat lubang menganga untuk memperlakukan hukum semau-maunya. Atau kalau meminjam istilah George Lakoff, etika bisa juga menjadi ‘deep frames’ dimana ‘surface frames’, termasuk dalam hal ini penegakan hukum misalnya, akan digantungkan.

Maka tidak mengada-ada jika kemudian dibicarakan soal ‘rekayasa sosial’ itu. ‘Rekayasa sosial’ dalam sebuah ‘teater republik’, sebuah ‘pentas lakon’ dengan tipisnya etika dalam bermacam ‘adegan’-nya. Sebuah rejim korup-maling-rampok yang sedang dan terus berusaha keras merekayasa ‘habitat’ tempat hidupnya sehingga dia bisa hidup dengan nyaman, aman, dan sentosanya. Maka ‘contoh kasus #01'[1] bisa-bisa bukanlah sekedar ‘tontonan’ dari si-capital tertinggi yang tidak tahu etika itu, tetapi adalah juga memang bagian dari upaya ‘membunuh etika’ itu sendiri. Hal yang tidak jauh berbeda juga dilakukan oleh orang-orang angkatannya dalam bermacam bentuknya. Intinya, bagaimana membuat etika itu menjadi sekarat dalam konteks ranah merepublik. Etika yang akan mengganggu kenyamanan habitat hidupnya. Dan lihat, ingat, bahkan ‘guru besar bidang etika’-dkkpun ditelikung habis terkait soal ‘komitmen’ itu, beberapa bulan sebelum wabah merebak. Tanpa sungkan, tanpa beban. Sontoloyo memang orang itu.

Etika jelas beda dengan sopan santun. Sedikit-banyak kita bisa melihat dalam sosok wayang Kumbokarno misalnya. Jauh dari sopan, tetapi bisa dekat dengan hal etika. Bagi Sidney Hook, etika lebih dari soal baik-buruk, tetapi dalam praktek adalah soal pilihan antara baik dan lebih baik, atau buruk dengan yang kurang buruk. Maka berkembanglah yang kita kenal sebagai ‘kode etik’ itu. Putusan-putusan tindakan medik saya sebagai dokter misalnya, selalu akan ada dalam bayang-bayang ‘kode etik kedokteran’. Demikian juga profesi lain, atau bahkan lembaga seperti KPK misalnya, ia punya ‘kode etik’-nya sendiri. Apakah lembaga kepresidenan misalnya, juga sebaiknya punya ‘kode etik’ tersendiri? ‘Kode etik’ yang akan selalu membayangi ketika keputusan akan diambil? ‘Kode etik’ ketika ia akan menggunakan hak prerogatifnya, misalnya. Kita bisa menunjuk bermacam pasal terkait dengan hak dan kewajiban seorang presiden dalam kitab undang-undang, tetapi cukupkah itu jika kemudian soal etika kemudian dipinggirkan? Memilih seorang menteri misalnya, apakah kemudian bermasalah hanya karena yang bersangkutan mempunyai kewarga-negaraan ganda dan itu hukum mengatakan: tidak boleh? Atau dari segi hukum ‘anteng-anteng’ saja, tetapi jelas kualitas dari rekam jejaknya nampak bahwa ia sungguh jauh dari bidang yang akan diampunya?

Apakah goyang ubur-ubur setahun lalu ketika wabah mulai merambah negara-negara lain, melanggar hukum? Omong asal njeplak terkait wabah yang jejak digitalnya bisa dikompilasi itu, apakah melanggar hukum? Etis-kah bermacam perilaku itu? Dan bisakah hal-hal (pelanggaran) etis itu pada akhirnya dapat bermuara pada soal hukum, karena kemudian bisa dihayati sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan? Ketika kemudian ujungnya adalah menempatkan jutaan manusia dalam resiko kematian yang semakin mendekat itu?

Jika banyak hal di atas seakan berjalan seperti ada di jalan bebas hambatan, mengapa itu bisa terjadi? Jika itu yang terjadi, nampaknya ada paradigma tertentu dalam pikiran, keputusan, dan tindakannya: realisme politik di ujung ‘radikal’-nya: tidak ada etika dalam politik. Kalau toh ada yang disebut sebagai etika, satu-satunya adalah soal merebut dan mempertahankan kuasa. Titik. Jika ada yang berangkat dari realisme politik seperti itu dan kemudian meyakini bahwa tidak ada tempat bagi etika dalam politik –dalam ‘urusan kuasa’, dari pengalaman soal pandemi saat ini nampaknya kita bisa mulai merasakan bahwa itu tidaklah tanpa batas sama-sekali. Batasnya adalah sangat jelas: kematian. Atau juga kematian-kematian. Ketika kematian datang satu-dua-tiga dan bahkan bertubi-tubi, klaim bahwa tidak ada etika dalam politik jelas menjadi sah untuk dipertanyakan. Terlebih ketika keputusan dan perilaku politik itu dalam rekam jejaknya menampakkan bagaimana ia berulang dan berulang ‘menganggap enteng-enteng’ saja kematian-kematian tersebut. Seperti dalam ‘contoh kasus #01’ itu. Atau contoh paling telanjang di abad 20: Hitler.

Maka bicara soal etika dalam penanganan bencana atau wabah akan tetap mendapatkan relevansinya, terlebih karena hal tersebut bencana/wabah, terkait dekat dengan kematian-kematian, baik yang potensial maupun faktual. Bahkan perang-pun ada ‘kode etik’-nya, komplit dengan persidangan-persidangannya terkait dengan kejahatan perang-nya. Hanya volume otak-nya yang kecil saja yang merasa nyaman-nyaman saja meminggirkan etika dalam penanganan bencana/wabah, karena yakin atau diyakinkan bahwa dalam realisme politik memang tidak ada itu yang namanya etika. Orang jenis itu biasanya hanya merusak hidup bersama saja. Jika muncul jenis seperti itu, sebaiknya cepat-cepat saja ditendang masuk got. Sebelum kerusakan sampai pada titik tidak mungkin lagi kembali. Sebelum kerusakan sampai pada titik yang sangat sulit diperbaiki. Sebelum soal merebut dan mempertahankan kuasa masuk dalam ranah at-all-cost. *** (11-07-2021)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/781-Etika-Dalam-Penanganan-Bencana/Wabah-1/

 

Etika Dalam Penanganan Bencana/Wabah (2)