www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-06-2021

Dari mana kita bisa menghayati adanya kesopanan? Dari ruang-ruang kursus kepribadian? Atau dari buku pelajaran bab sekian tentang sopan-santun? Dari mana kita bisa menghayati warna merah? Dari bu guru sains yang mengatakan bahwa panjang gelombang warna merah sekian dan jika dicampur dengan warna ini akan menjadi warna itu? Tetapi bagaimana jika bu guru tersebut langsung menunjuk bangku warna merah? Maka kesopanan memang baru bisa dihayati jika ia melekat pada sosok manusia. Ikut dalam gerak-gerik perilaku, olah tubuh manusia.

Bagaimana jika kita makan di luar dan pemilik warung makannya begitu sopannya, tetapi ketika kita mau bayar setelah selesai makan ternyata nuthuk-harganya, harga makanan tiba-tiba dibuat meroket dibanding dengan peer-group-nya? Dongkol kita, dan tiba-tiba saja apresiasi terhadap kesopanannya bisa-bisa menguap dengan mudahnya. Atau misalnya, praktek dokter itu kok ramai padahal ia tidak banyak basa-basinya, atau katakanlah kurang ‘sopan’ jika dibanding lainnya. Tetapi banyak pasien yang cocok karena diagnosis dan terapinya sebagian besarnya memang tepat, mak-nyus. Maka jika soal sopan bisa dikatakan sebagai bagian dari sebuah ‘kecantikan’ ia jelas juga punya ‘inner-beauty’-nya sendiri.

Apakah kesopanan dalam politik juga mempunyai ‘inner-beauty’-nya sendiri? Jika benar tilikan Mochtar Lubis hampir 50 tahun lalu soal masih banyaknya sikap hipokrisi di sana-sini dan 50 tahun kemudian sayangnya masih banyak ditemukan di sana-sini juga, maka semakin besar pula hambatan sebuah ‘inner-beauty’ dari kesopanan itu untuk keluar dengan segala ‘keindahannya’.

Politik akan selalu lekat dengan harapan. Politik praktis akan berurusan dengan harapan yang masih mungkin dicapai dalam rentang waktu tertentu, dalam situasi tertentu. Maka soal sopan-sopan-an dalam politik ini kemudian tidak akan lepas dengan bagaimana harapan itu ‘dikelola’. Orang bilang integritas: ‘utuh-tak-terbagi’, terutama antara tindakan dan kata-katanya. Bukan terbagi: ini bagian kata, dan itu bagian tindakan, misalnya. Bagaimana bermacam harapan itu tetap terus diperjuangkan di tengah-tengah bermacam pula strategi-taktik-siasat yang sedang dikerjakan. Ketika orang berintegritas itu juga berperilaku sopan dalam banyak halnya, kesopanannya dalam politik itu akan mempunyai ‘inner-beauty’ yang kuat.

Dari teori ‘segitiga hasrat’-nya Rene Girard kita bisa belajar bagaimana pentingnya model (M) bagi subyek (S) untuk menghasrati suatu obyek (O), atau katakanlah obyek dalam hal ini: kesopanan. Dari Bourdieu dalam teori tindakannya, suatu tindakan akan dipengaruhi oleh kebiasaan (habit), capital, dan ranah (field). Maka tidaklah jauh melesetlah jika dalam politik itu, si-pemilik capital tertinggi-lah yang pertama-tama akan jadi ‘model’. Capital di sini bukan hanya berarti uang, tetapi bisa juga social-capital. Bahkan misal kita bicara Pancasila, salah satu pertanyaannyapun: lebih berbahaya manakah banyak khalayak tidak paham Pancasila dibanding jika banyak pengelola negara yang tidak paham Pancasila?

Maka dalam politik, dari pada mengejar-ngejar khalayak, termasuk para pengkritiknya untuk bersopan-ria, lebih baiklah jika para pemegang capital tertinggi dalam ranah politik itu mulailah bersopan-ria lebih dahulu. Yang ‘telanjang’ misal, tertibkanlah para buzzerRp yang ada dalam koordinasinya itu. Atau kalau mau memberikan bingkisan pada rakyatnya, janganlah dilempar-lempar lewat jendela dari mobil yang berjalan pelan itu. Yang melibatkan bagaimana ‘inner-beauty’-nya bisa muncul, ketika sopan berlatar-belakang sebuah integritas. Satunya kata dan tindakan, dan bukan lip service doang. Bisa? *** (30-06-2021)

               

Sopan