www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-06-2021

Apa esensi dari jalur A, B, dan G[1] di jaman old? Apakah itu hanya merupakan ‘penyangga utama’ selama 32 tahun bertahannya sebuah ‘pakta dominasi’? Kalau kita dalam waktu bersamaan membayangkan ‘Alegori Kereta Perang’-nya Platon maka sedikit banyak gambaran akan semakin jelas. Masalahnya adalah, dalam jalur A-B-G itu si-kuda hitam belum termasuk di dalamnya. Dan dari perjalanan ke-A-B-G-an ternyata perlahan justru si-kuda hitam itu menjadi dominan. Jalur A dan G, terutama jalur A bisa dikatakan sebagai si-kuda putih. Sedang jalur B, dengan pada awal-awalnya banyak rekrutmen dari kaum teknokrat, ia bisa dikatakan adalah pembantu utama dari si-sais, dalam hal ini katakanlah si-patron. Si-kuda hitam dalam praktek sebenarnya ada dalam kendali si-sais-si-patron juga. Tetapi seperti digambarkan Platon, ledakan energi si-kuda hitam ini sungguh besar.

Meski dalam praktek semua jalur pada dasarnya ada dalam kendali si-patron tetapi jika diambil skalanya, hanya jalur B-lah yang bisa dikatakan hampir 100% ada dalam kendali. Dan itu adalah soal ‘tata kelola hasrat’ dimana jika jalur A dan G itu terlalu kuat digenggam maka pada satu titik tertentu akan sampai pada batasnya juga. Jalur A dan G jika dilihat sebagai si-kuda putih itu, maka soal ‘kebanggaan’ akan menjadi terusik jika terlalu lama dan kuat ada dalam genggaman. Tetapi tensi akan berkurang jika kemudian ada logika ‘ke-bangsawan-an’. Jalur B, untuk masuk dalam lingkaran kaum bangsawan itu adalah ‘hak prerogatif’ si-patron. Sedang jalur A dan G, pada pos-pos strategis memang akan tergantung juga pada si-patron, tetapi bagaimana bisa mendekat untuk kemudian bisa masuk ke lingkaran kaum bangsawan, ‘kompetisi’ masih dimungkinkan. Pada akhirnya memang itu terwujud (masuk lingkaran kaum bangsawan) hanya dengan restu si-patron juga tentunya. Maka menjadi bagian dari ‘kaum bangsawan’ adalah sebuah angan yang ‘menjinakkan’. Sebuah obsesi akan power yang dengan sukarela sekaligus ‘menjinakkan diri-sendiri’ untuk selalu ada dalam batas-batas yang dibuat oleh si-patron.

Tetapi ketika sampai pada 10-an tahun berjalan, dari beberapa sumber kita bisa melihat bagaimana soal ‘pemburuan-rente’ itu mulai merebak. Dimulai dengan soal konsensi pengelolaan hasil hutan. Inilah mungkin yang menyebabkan ‘rasa teknokratis’ (atau bisa juga dilihat sebagai rasa aristokrasi, aristo=terpilih karena terbaik) perlahan kemudian membusuk menjadi rasa oligarki. Dengan ‘driving force’-nya si-kuda hitam itu. Menghilangnya Jack Ma pemilik Alibaba selama kurang lebih 3 bulan di bagian akhir tahun 2020 itu mungkinkah salah satu upaya Xin Jiping untuk mencegah berkembangnya rasa oligarki dari si-kuda hitam ini? Dan kemudian ‘membusukkan’ orang-orang terbaiknya? Mungkin saja. Tetapi republik di jaman old, si-kuda hitam itu terus saja merengsek tidak hanya di jalur B, tetapi juga akhirnya merambah di jalur A dan G juga.

Maka ‘sejarah berulang’, sejarah tentang ‘politik pintu terbuka’. Kalau jaman old-old sang-patron kemudian dilihat oleh banyak modal-global sebagai halangan maka di penghujung abad-20 ketika globalisasi komplit dengan pembonceng-pemboncengnya itu semakin merebak, nampaknya mereka melihat juga oligarki yang berurat-akar di republik itu sudah tidak kompatibel lagi dengan semakin bebasnya modal bergerak. ‘Politik pintu terbuka’ ke-3[2]-pun terjadilah. Tentu ini bukan faktor tunggal, tetapi bisakah kita menghayati itu adalah ‘driving-force’-nya? Masalahnya menurut Jeffrey Winters, turunnya seorang diktator itu bukan berarti hancurnya oligarkinya. Oligarki yang lebih dibangun oleh si-kuda hitam itu.

Ketika para oligark itu tidaklah runtuh dan bahkan kembali sebagai bagian penting dalam ‘pakta dominasi’, bahkan lagi sebagai pusatnya, seperti dikatakan Platon, hidup bersama-pun seakan meluncur ke bawah. Platon menggambarkan bahwa si-kuda hitam itu selain mempunyai ledakan energi tetapi sayangnya mempunyai sifat semau-maunya, dan bahkan cenderung meluncur ke bawah. Namanya saja ‘rejim oligarki’ maka yang dipilih sebagai bagian ‘kaum bangsawan’-nyapun akan serba kelas medioker sebagian besarnya. Bukan yang terbaik dari yang terbaik. Bahkan ketika bermacam jalur ‘kebangsawanan’ itu dihidupkan lagi dengan jalur A sebagai yang pegang senjata, G menjadi P (Partai), dan ditambah dengan jalur R (Relawan) dan S (‘Surga’) maka yang dijumpai lebih banyaknya justru adalah soal inkompetensi. Siapapun itu asal manut, selalu siap jika diperintahkan untuk ini atau itu. Kalau jaman old ‘pendisiplinan’ kaum bangsawan adalah dengan kekuatan kekerasan, jaman now pertama-tama pada kekuatan ‘pengetahuan’, dalam arti lebih pada ‘sandera kasus’. Politik skandal. Itulah mengapa salah satunya, KPK kemudian ‘terjerumus’ dalam situasi seperti sekarang ini. Ia kemudian berubah lebih menjadi bagian dari ‘pengendali’, alat ‘pendisiplinan’ kaum ‘bangsawan’-nya rejim oligarki. Tidak lebih dari itu. Bukan lagi soal pemberantasan korupsinya. Karena menjadi ‘bangsawan’ dalam rejim oligarki juga berarti komplit dengan ‘lapak-lapak’-nya. Komplit dengan kesempatan korupsi, kolusi, nepotisme, pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, data ganda, data fiktif, data misterius, ngemplang, dan ngunthet-nya. Komplit, sego-endog-iwak-pitik, cuk. *** (26-06-2021)

 

[1] Jalur ABG adalah sebuah istilah yang digunakan oleh kelompok intelektual dalam menyebut unsur atau komponen politik dalam proses dan struktur pemerintahan Indonesia di masa Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto , yaitu militer (ABRI), birokrasi, dan Golkar. (https://id.wikipedia.org/wiki/

Jalur_ABG)

[2] Yang pertama di abad-19

Jalur Kaum Bangsawan

gallery/plato wings