www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-06-2021

Virus Covid-19 itu merusak langgam hari Sabtu-Minggu bagi sebagian orang, dimana ketika pertandingan sepak bola di gelar hidup mereka seakan berputar sekitar lapangan. Virus juga merusak angan panjang untuk menuaikan ibadah haji di Mekkah sana. Atau pergi ibadah bersama yang rutin dilakukan setiap minggunya. Atau angan mudik setiap tahun saat lebaran. Bermacam peristiwa, bermacam tempat, bermacam perayaan yang biasa dijalani dari waktu ke waktu itu seakan membantu kita membangun bermacam dunia tempat kita ada di dalamnya. Keretakan ‘langgam hidup’ bukan berarti terus kiamat, manusia punya kemampuan adaptasi dan inovasi. Bahkan iapun terus menerus ber-evolusi. Dalam satu interview dengan Brad Pitt, si pewancara dengan menggoda mengatakan, apakah puncak evolusi manusia itu ada pada anda? Brad Pitt maksudnya. Lebih karena gantengnya mestinya, ranah wawancara memang saat itu sedang selebriti. Tapi siapa tahu 20-30 tahun mendatang, cucu Aaron Kwok ketika diwawancarai akan ditanyakan hal yang sama? Atau cucu Gong Li. Atau anak Dian Sastrowardoyo. Siapa tahu?

Tidak hanya jaman bergerak, tetapi dunia-pun juga bergerak. Tetapi bagi manusia, terus bergeraknya dunia ia tetaplah maunya dunia yang bisa dihayatinya sebagai paling tidak ‘yang teratur’, tidak chaos. Karena ia akan hidup di dalamnya, dan dengan penghayatan akan ‘keteraturan’ itu ia akan merasa lebih aman, dan ujung-ujungnya menjadi lebih mampu untuk mempertahankan hidup. Ia akan menciptakan ‘horison’-nya sendiri, yang dengan itu ia membuat ‘batas’ antara dunia ‘teratur’ dan ‘yang tidak’: di seberang batas horison. Dengan adanya horison ini maka semakin dimungkinkan sebuah kemajuan dimulai, dan disadari atau tidak, horison-pun sedikit-demi-sedikit dimajukan pula. Tetapi seringnya tantangan datang tanpa bisa kita kendalikan, dan mau-tidak-mau harus dihadapi dengan ‘modal’ horison yang ada saat itu. Tetapi tidak bagi sebagian orang, ketika tantangan cukup besar dan ‘modal’ horison masih belum cukup untuk menghadapinya, ada yang mampu mendobrak horison untuk masuk ke-ruang-ruang ketidak-pastian, dan ternyata mampu menghadapi tantangan dengan respon yang tepat! Mungkin ini yang disebut oleh Toynbee sebagai s-minoritas kreatif. Lalu bagaimana dengan, katakanlah si-mayoritas? Maka ia akan lebih menggunakan modus meniru.

Tetapi dari mana datangnya ‘keberanian’ untuk menerobos horison itu? Nampaknya salah satu faktor krusial adalah: seni. Seniman apapun itu, ia ‘bekerja’ seakan tanpa batas. Tidak ada paradigma ‘ceteris paribus’ dalam berkesenian, apapun ‘aliran’-nya. Para seniman itu menunjukkan bahwa horison-pun bisa diterobos, dan tidak hanya dimajukan perlahan-lahan. Bisa ‘diatasi’, dan di luar horison yang serba tidak pasti itupun sangat mungkin untuk dieksplorasi. Dijelajah. Maka kemajuan cepat diperlukanlah ‘pupuk’ untuk melahirkan ‘keberanian’ calon-calon si-minoritas kreatif, dan soal pupuk itu paling penting adalah memberikan kebebasan pada seni dan penghayatannya. Ketika seni ‘terbelenggu’ atau ‘membelenggukan diri’ –entah karena ‘kepentingan’ apa, maka ia akan kurang greget untuk memberikan dorongan bahwa horison itu-pun bisa diterobos, bisa didobrak untuk menjelajah yang di ‘luar batas’. Ketika ‘kata-kata’ menjadi sungguh terbatas untuk menggapai banyak hal yang ‘di luar batas’ itu maka bahkan seorang Heidegger-pun menjadi begitu menyukai puisi-puisi Hӧlderlin.

Tetapi bagaimanapun horison akan melibatkan ‘titik berangkat’ atau ‘titik pijak’. Maka meski ketakutan akan ketidak-pastian semesta membuat manusia berkumpul, tanpa disadari justru itu mendorong kemungkinkan terbangunnya sebuah horison dengan berkumpulnya bersama itu. Apalagi ketika manusia menetap. Tetapi kadang manusia masih memerlukan ‘bantuan’ dalam membangun horison di tengah-tengah ganasnya ketidak-pastian semesta. Mungkin inilah salah satu fungsi berkembangnya apa yang dikenal sebagai axis-mundi itu. Bagai seorang pelaut naik ke puncak tiang layar untuk ‘meluaskan’ horison pandangannya di tengah-tengah laut. Lalu bagaimana jika ‘tiang layar’ itu kemudian berperilaku semau-maunya, pilih-pilih orang yang mau menaikinya, atau justru lebih manut pada kapten kapal lain yang juga ikut berlayar di seberang sana? Padahal saat membangun kapal, penjual ‘tiang layar’ utama itu begitu meyakinkan bahwa ini terbuat dari kayu terbaik. Yang ini, yang itu-lah. Maka bisa dikatakan, bagi para crew dan penumpang kapal tersebut, ‘tiang layar’ itu pada akhirnya hanya merusak saja. Bahkan bisa menenggelamkan kapal karena tidak memberikan kesempatan bagi orang tepat naik ke puncak ‘tiang layar’ untuk meluaskan horison pandangan. Untuk melihat adanya batu karang tajam terjal di depan kapal. *** (18-06-2021)

Orang Itu Hanya Merusak Saja