www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-06-2021

Bagaimana mengkhianati sesuatu yang tidak/belum ada? Adanya sebuah ideologi itu hanya bisa di-cek dari kebijakan dan eksekusinya serta perilaku dari pendukungnya. Jaman old-old bisa dibayangkan Marhaenisme sebagai sebuah ideologi baru lebih sebagai sebuah kebijakan saja, belum sempat dieksekusi Bapak-nya sudah harus turun dulu. Dan sampai sekarang bahkan sebagai kebijakan-pun belum nampak jelas, apalagi eksekusinya. Perilaku para pendukungnya? Anda bisa menilai sendirilah. Tetapi jika kita mengikuti ‘tiga dunia’-nya Karl Popper, bagaimanapun ide-ide Marhaenisme itu sudahlah ada ‘gentanyangan’ di ‘dunia ke-3’. Dan menurut Popper, ia tetaplah mampu memberikan dampak kongkret-nya juga, sama seperti ‘dunia lainnya’ terutama ‘dunia ke-1’. Maka tetap saja relevan bicara soal Marhaenisme ini, ataupun juga pengkhianat-pengkhianatnya.

Mengapa lebih bicara soal para pengkhianatnya? Karena kita kadang lebih mudah menghayati sesuatu dari ‘kondisi negatif’ yang berkembang. Tetapi apa yang sebenarnya telah dikhianati itu? Marhaenisme bisa dihayati sebagai sebuah ide untuk selalu berdiri di sisi ‘yang serba kecil-kecil’. Maka mudah saja, ketika ‘yang serba kecil-kecil’ ini lebih banyak ditinggalkan maka disitulah Marhaenisme sedang dikhianati. Tidak peduli itu etnis-nya apa, agama-keyakinannya apa, bahkan jika itu kaum radikal-pun jika mereka masuk dalam ‘yang serba kecil-kecil’ maka si-marhaenis akan berdiri di sampingnya. Jadi sangat aneh jika ada marhaenis atau yang ngaku-ngaku marhaenis atau yanag kost di rumah marhaen itu lebih banyak sibuk bicara soal ‘radikal-radikul’ tetapi lebih banyak diam terhadap persoalan kongkret sehari-hari dari ‘yang serba kecil-kecil’ itu.

Ketika masih bekerja di salah satu RS Swasta di Semarang, waktu makan siang di kantin bersama satu meja dengan salah satu direksi, cina-totok, saya ‘ditegur’ ringan karena dalam piring masih menyisakan sedikit. “Dihabiskan, dok ..,” demikian katanya. Dan dia tidak asal bicara saja, piringnya memang betul-betul bersih, satu butir nasi-pun tak tertinggal. Dan sayapun mengikuti sarannya, alasannya sangat mendasar: makanan itu sulit dicari, jadi habiskanlah. Belum kita bicara dalam mempersiapkan makanan itu. Maka memang betul seperti dikatakan Thatcher dalam salah satu wawancara, 40 tahun lalu, bahwa ekonomi hanyalah ‘metode’, yang penting adalah mengubah hati dan jiwa. Atau terkait dengan soal ‘makan bersama’ di atas, bagaimana jika ‘metode’ dagang misalnya, dihayati oleh saudara-saudara kita yang katakanlah mengambil contoh di atas, selalu menghabiskan makanan di piring sampai bersih karena alasan-alasan yang sungguh masuk akal itu? Mungkin juga tidak jauh dari gambaran Bourdieu, misalnya tindakan berdagang, tentu akan dipengaruhi hadirnya habitus tertentu.

Lalu bagaimana ‘membangun dunia ke-2’ sehingga penghayatan akan ‘dunia ke-3’ itu dapat kemudian berdampak di ‘dunia ke-1’ itu? Kalau meminjam pemikiran si-Bung, tidak ada jalan lain selain soal romantika-dinamika-dialektika itu. Dan tentu itu terus menerus tanpa henti. Lihat contoh lagi pada diri Thatcher, ketika ia membanting bukunya von Hayek di atas meja di depan rapat partai, dan berkata keras: “Ini yang kita percayai!” Thatcher katakanlah: sedang ber-romantika saat itu. Dan dinamika-dialektika adalah muncul dalam bermacam benturan, demo, protes terhadap bermacam kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Thatcher. Thatcher tahu persis bahwa pergeseran dalam ‘metode ekonominya’ –menggeser paradigma welfare state ala pasca Perang Dunia II itu, akan menghadapi benturan yang tidak kecil, tetapi ia yakin itu harus dilalui demi warganya mampu menghayati apa-apa yang dibayangkan akan baik untuk Inggris saat itu, jalan neoliberalisme. Tentu kita sangat boleh tidak setuju terhadap apa yang diusung Thatcher, tetapi bukan itu konteks tulisan ini. Dan mari bayangkan Thatcher ada di republik dan membanting buku Di Bawah Bendera Revolusi, dua jilid sekaligus, boom ... boom..., misalnya, dan berseru: “Ini yang kita percayai!” Tempik-sorak tentu akan membahana di pertemuan partai itu. Bayangkan saja. Tetapi setelah itu pertanyaannya adalah, what is to be done? Maka, silahkan para sahabat untuk menjawabnya. Kalau boleh berharap sahabat ..., janganlah berhenti hanya pada teriak-teriak pro rakyat, pro rakyat itulah. Model seperti ini tidak hanya akan menipu Kang Marhaen dengan keranjingan di romantika saja, tetapi justru ia berpotensi besar untuk berkembang menjadi pengkhianat utama dari Marhaenisme. Merdeka! *** (12-06-2021)

Para Pengkhianat Marhaenisme