www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-06-2021

Banyak pendapat soal bagaimana hancur dan berkembangnya peradaban, salah satunya dari Arnold J. Toynbee yang ada dalam buku panjangnya, A Study of History. Pada tahun-tahun Toynbee menulis buku tersebut, berkembang pula sebuah teori tentang laik tidaknya sebuah planet dihuni, teori tersebut sebutlah sebagai Goldilocks Zone. Mengapa bumi bisa menjadi tempat berkembangnya bermacam makluk hidup? Kata teori tersebut karena bumi terletak di zona yang memungkinkan makluk hidup itu berkembang, katakanlah ia tidak terlalu dekat dengan matahari dan juga tidak terlalu jauh. Menurut Toynbee, peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon. Dikatakan oleh Toynbee, tantangan yang terlalu besar justru akan menghancurkan peradaban, misal bencana alam yang dahsyat itu tidak hanya melenyapkan peradaban, tetapi juga komunitas yang membangun peradaban itu bisa-bisa juga ikut lenyap juga. Atau juga misalnya bagaimana mesiu dan kemajuan teknologi pada jamannya itu telah meluluh-lantakkan banyak peradaban yang sudah ada milik komunitas yang dikalahkan total. Atau suku-suku terisolir yang bahkan hanya dengan virus influenza yang dibawa penjajahnya saja bisa lenyap, beserta peradaban yang dibangunnya selama ini.

Respon terhadap tantangan itulah yang kemudian dikatakan akan membangun peradaban. Dan dikatakan kemudian, kehadiran si-minoritas kreatif dalam membangun respon itu menjadi penting. Bagaimana dengan lainnya yang jumlahnya pasti jauh lebih besar? Mereka sebagian besarnya akan meniru saja apa-apa respon yang dibangun oleh si-minoritas kreatif. Maka menemukan tantangan ‘yang tepat’ adalah sangat penting bagi berkembangnya peradaban. ‘Yang tepat’ tentunya akan terkait dengan kemampuan diri dan horison yang berkembang saat itu. Tantangan ‘yang tepat’ itupun bisa berkembang sesuai dengan kemampuan diri dan juga horison yang terus dimajukan itu. Maka dalam konteks isu yang berkembang akhir-akhir ini, soal pasal penghinaan itu, apakah iya itu merupakan tantangan ‘yang tepat’ saat ini? Bukankah si-minoritas krestif yang hadir melalui rute pemilihan itu sebenarnya betul-betul diharapkan dapat menjadi pemain ujung tombak untuk menghadapi tantangan hidup bersama? Tantangan kongkret dalam menghadapi pendemi COVID-19 ini. Tantangan-tantangan yang muncul dari gejolak geopolitik di kawasan Asia-Pasifik ini? Tantangan kemiskinan yang masih mendera di banyak saudara-saudara kita? Tantangan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme itu? Tantangan masih perlunya ditingkatkannya terus sumber daya manusia kita? Ini kok malah menyibukkan diri dengan pasal-pasal penghinaan. Apakah jika terus-menerus dihina itu terus menjadi gagal dalam pemberantasan KKN itu? Terus menjadi buta akan gejolak pergeseran geopolitik di kawasan Asia-Pasifik itu? Terus tidak bisa berbuat banyak memotong rantai kemiskinan? Terus gagal dalam meningkatkan kualitas Perguruan Tinggi kita? Apa selain slogan kosong ‘aku pancasila’, ‘nkri harga mati’, dan sekitarnya itu masih perlu ditambah slogan ‘aku tidak menghina’? Gitu ya, cuk?!

Atau jangan-jangan si-minoritas kreatif itu telah berubah menjadi si-minoritas dominan? Menurut Toynbee hancurnya peradaban selain tantangan terlalu besar seperti dicontohkan di awal-awal tulisan, ia bisa juga disebabkan karena minoritas kreatif-nya berubah menjadi minoritas dominan. Kita bisa bayangkan tantangan apa yang akan terhayati sebagai tantangan utama si-minoritas dominan? Mempertahankan dominasi-nya! Tidak yang lainnya. Kalau kita lihat lebih jauh maka memang potensi terbesar retak-runtuhnya peradaban ini adalah faktor berubahnya si-minoritas kreatif menjadi minoritas dominan ini. Katakanlah dalam ranah kontestasi di pemilihan, yang pada dasarnya sedang memperebutkan posisi hegemonia itu.[1] Yang mempunyai potensi lebih sebagai minoritas kreatif itulah yang semestinya akan terpilih, minimal dari apa-apa yang diperjanjikan untuk menghadapi bermacam tantangan 4-5 tahun mendatang, misalnya. Masalahnya, begitu hegemonia itu terpegang maka imajinasi sebagai pemegang arché-pun akan berkembang. Arché yang berarti ‘kontrol’ dan selalu hirarkis sifatnya. Maka berubah untuk menjadi minoritas dominan itu memang sungguh besar godaannya. Betul-betul memerlukan sosok yang sungguh berkualitas, bermutu, dan bukan yang bisanya berhenti pada teriak-teriak ‘pro-rakyat ... pro rakyat’ itu, misalnya. Atau kalau meminjam istilah Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments: famous sect. Utopia? Tidaklah, komunitas yang jauh lebih maju dari kita menunjukkan bahwa itu adalah bagian penting dari perjalanan kemajuannya. Sudah godaannya sungguh besar untuk berubah menjadi si-minoritas dominan, apalagi jika kemudian mendapat juga bonus tiada henti kenikmatan untuk korupsi, kolusi, nepotisme, maling, nyolong, ngunthet, ngemplang, nggaglak, nguntal, ngutil, mark-up, data ganda, data fiktif, data misterius, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat. Bisa tambah ugal-ugalan. Kalau sudah begini, memang penguasa mana yang mau dihina? Apalagi jika segala yang bertentangan dengan itu semua (korupsi, kolusi, dkk-nya itu) hanyalah sok-sok-an sebagian besarnya. Maka, sekali lagi kalau sudah masuk dalam jebakan-lingkaran-setan sok-sok-an ini, memang siapa mau dihina? Jangan-jangan pasal-pasal hinaan itu hanyalah untuk memagari ‘Goldilocks Zone’ bagi bertahan dan berkembangnya laku korupsi, kolusi, nepotisme, maling, nyolong, ngunthet, ngemplang, nggaglak, nguntal, ngutil, mark-up, data ganda, data fiktif, data misterius, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat.

Maka soal mencuatnya pasal hina-menghina akhir-akhir ini, terkait presiden/wakil atau anggota dpr, sudut pandangnya bukanlah apakah mereka menjadi ‘besar-maknyus’ karena mau dihina, atau tidak merespon hinaan –tidak ada urusannya dengan itu, tetapi menjadi ‘besar-maknyus’ karena apa-apa yang ada dalam kendali mereka itu benar-benar dilaksanakan dengan baik. Hadirnya penghinaan itu adanya di luar kendali. Tidak usah presiden/wakil, atau anggota dpr, orang biasapun saja bisa bersikap: e-g-p. Tetapi menjadi ‘minoritas kreatif’ yang layak ditiru karena kebijakan komplit dengan eksekusinya, dan perilakunya dalam membangun respon menghadapi tantanganlah yang tidak semua orang bisa. Itulah tantangan bagi si-terpilih, terutama tantangan dalam memberantas laku-laku korupsi, kolusi, nepotisme, maling, nyolong, ngunthet, ngemplang, nggaglak, nguntal, ngutil, mark-up, data ganda, data fiktif, data misterius, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat. *** (11-06-2021)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

Peradaban Hancur Bukan Karena Hina-hinaan