www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-06-2021

Flash mob karya Beethoven, Simfoni No. 9 itu di gelar di sekitar Bank Sabadell dan diunggah di Youtube[1] 31 Mei 2012, telah ditonton paling tidak 88 juta kali. Jika biaya flash mob ditanggung oleh Bank Sabadell, itu adalah salah satu promosi yang ‘cerdas’ juga. Tetapi coba kita lihat video itu, dengan suara di-nolkan misalnya, tentu akan beda penghayatan. Atau suara tetap keras, tetapi dengan teknik tertentu misalnya, semua figur anak kecil di video itu dihilangkan, apa yang kita rasakan? Bagaimana jika dibanding dengan video lengkapnya?

Terhadap sutradara flash mob dan editornya jika melihat video dari awal sampai akhir, maka janganlah sungkan jika kita akan memberikan apresiasinya. Jika kita menonton video itu berulang kali maka selain nuansa yang dibangun oleh suara komposisi Simfoni No. 9 yang memang mak-nyos itu, adalah peran penting sosok anak-anak yang hadir, bahkan juga yang membuka dan menutup tayangan video. Meski nampaknya hanya sekedar ‘melintas’ saja tetapi apapun itu justru ia menjadi sumber kekuatan video itu. Kehadiran anak-anak yang lucu, lugu, dan spontan itu seakan sebagai ‘senjata utama’ dalam menyentuh bagian terdalam dari ‘manusia yang pada dasarnya baik’ itu. Bandingkan dengan film musikal Metallica: Through the Never yang tayang pertamakali setahun setelah unggahan video di depan Bank Sabadell itu. Film dahsyat itu nampaknya menyapa sisi lain manusia dari yang sedang disapa oleh hadirnya anak-anak dalam flash mob itu.

Dan kitapun bisa sama-sama menikmati video flash mob Simfoni No. 9 itu demikian juga dengan film Metallica: Through the Never. Ada yang lebih menyukai flash mob, tetapi ada yang lebih menyukai Metallica. Atau senang yang satu, dan tidak bisa menikmati yang lain. Atau tidak bisa menikmati ke dua-duanya, lebih suka konser Koes Plus oleh orkestranya Erwin Gutawa, atau film-filmnya Rhoma Irama. Macam-macam. Yang mau dikatakan di sini adalah, baik mau dikatakan pada dasarnya manusia baik atau buruk, dua-duanya ternyata riil ada dan bahkan dua-duanyapun bisa disapa adanya oleh musik atau film/video. Bagi kaum Republik di AS sono, bukannya tidak bisa menikmati serial Bill Cosby Show, demikian juga kaum Demokrat, bukannya tidak bisa menikmati si Rambo itu. Tetapi bahkan dalam kedua film tersebut kita bisa merasakan perbedaan dari dua ‘paradigma’ tentang manusia itu. George Lakoff menggambarkan ini dengan jelas, bagaimana sosok Rambo akan dilahirkan lebih oleh Republik. Partainya si Trump itu.

Bagaimana jika dua ‘asumsi’ tentang manusia itu tidak berada di masing-masing dua partai dominan? Tidak seperti Republik misalnya, lebih berangkat dari ‘pada dasarnya manusia itu jahat’ dan Demokrat yang lebih berangkat dari ‘pada dasarnya manusia itu baik’? Akankah ketika ‘pakta dominasi’ itu ada di tangan asumsi ‘pada dasarnya manusia itu jahat’ maka demi langgengnya ‘pakta dominasi’ ia akan menghadirkan sosok yang bisa menggantikan figur ‘anak-anak’ di video flash mob di atas? Yang akan mengaduk-aduk ‘emosi’ sisi asumsi bahwa ‘pada dasarnya manusia itu baik’? Pandai untuk hadir sebagai yang lucu, lugu, polos dan bahkan kadang kekanak-kanakan itu? Hadir sebagai simbol ‘kepala negara’ saja, sementara ‘kepala pemerintahan’ de facto ada di tangan para ‘ksatria kegelapan’ itu? Jika ya, apa iya kita akan beri tepuk tangan bagi sang sutradara ataupun sang editor seperti kita memberikan apresiasi penuh pada flash mob Simfoni No. 9 di atas? Pertanyaan ‘ngeri’ berikutnya adalah, apakah ini akan diterus-teruskan? ‘Ngeri’ karena ini adalah soal ‘pakta dominasi’. *** (04-06-2021)

 

[1] https://www.youtube.com/watch?v=GBaHPND2QJg

'Flash Mob' Simfoni No. 9