www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-06-2021

Dunia ke-3 adalah dunia abstraksi -the world of the products of the human mind [1], menurut Karl Popper, di sekitar puncak Perang Dingin. Di puncak lomba pergi ke luar angkasa antara AS dan Uni Soviet, dulu menjelang 1970-an. Di puncak persaingan antara ‘mimpi Amerika’ dan ‘mimpi proletariat’. Sedang dunia pertama menurut Karl Popper adalah “the world that consists of physical bodies: of stones and of stars; of plants and of animals; but also of radiation, and of other forms of physical energy. I will call this physical world ‘world 1’. If we so wish, we can subdivide the physical world 1 into the world of non-living physical objects and into the world of living things, of biological objects; though the distinction is not sharp.[2] Sedangkan dunia ke-2 adalah “the mental or psychological world, the world of our feelings of pain and of pleasure, of our thoughts, of our decisions, of our perceptions and our observations; in other words, the world of mental or psychological states or processes, or of subjective experiences.[3]

Bayangkan buku Di Bawah Bendera Revolusi-nya si Bung itu, yang tebal dan sampai 2 jilid itu, kemudian dipukulkan keras-keras ke kepala anda, satu jild saja, bisa commotio cerebri, gegar otak nantinya. Itulah ketika buku itu ada di ‘dunia ke-1’, dunia fisik. Tetapi misalnya, buku itu tidak untuk memukul kepala, tetapi kita taruh di ‘altar pemujaan’, setiap Jum’at Kliwon kita kasih sesaji bunga dan dupa, dan rutin juga kita ‘mandi’-kan setiap bulannya, digosok sampai mengkilap-bersinar sampulnya, maka buku itu sebenarnya sudah terlibat dengan ‘dunia lain’ selain dunia ke-1 itu. Ternyata isi buku itu bisa mempengaruhi sedemikian rupa perilaku seseorang. Isi buku yang merupakan buah pikiran dari si-Bung itu, yang menurut Popper juga konkret ‘melayang-layang’ di dunia ke-tiga. Kongkret karena ternyata sama kongkretnya dengan ketika dipukulkan pada kepala, isi buku –buah pikiran si-Bung, itu kongkret juga bisa mempengaruhi kepala orang-per-orangnya. Menurut Popper, interaksi antara dunia ke-3 dan dunia-1 itu akan melibatkan secara intens dunia-ke 2. Dunia ke-2, dunia subyektif yang dialami si-peminum air cucian kaki anak si-Bung misalnya, akan memberikan ‘outcome’ tertentu ketika ia berhadapan dengan dunia-1 dan dunia-3 dari hadirnya buku Di Bawah Bendera Revolusi itu.

Lihat misalnya, sama-sama konservatifnya kita bisa melihat perbedaan outcome dari seorang Margaret Thatcher dan Donald Trump. Judul tulisan ini memang mengambil titik bidik lebih pada dunia-ke 3, dan terlebih pada ke-sewenang-wenangannya. Kalau mengikuti Popper, itu (dunia ke-3) sama-sama kongkretnya dalam berdampak pada kehidupan. Fisik laras panjang bisa memicu chaos, atau pembunuhan brutal, dan bukankah demikian juga yang ada di dunia ke-3 itu? Titik sentral dari potensi kesewenang-wenangan di dunia ke-3 ini adalah yang kita kenal sebagai bandwagon effect itu. Tetapi dari Popper ini kita juga bisa membayangkan bahwa ‘efek ikut-ikutan’ ini akan lebih ‘berdaya ledak’ jika ada proses mental yang intens dengan sebuah fanatisme. Atau juga ketika awan tebal ketakutan yang seakan menggantung terus tidak mau hilang-hilang saja. Atau kombinasi dua hal itu. Itulah sebenarnya ide ‘partai pelopor’ –dalam arti ‘generik’-nya, bukanlah mengada-ada. Lihat di banyak negara yang berkembang dengan dua partai (atau koalisi partai) dominannya, pada dasarnya keduanya adalah ‘partai pelopor’ di masing-masing sisinya. Ke-‘peloporan’ sebuah partai pada dasarnya adalah energi utama sehingga partai tidak jatuh pada sebuah, katakanlah: partai oligarki. Atau kalau memakai kata-kata si-Bung, menjadi ‘pelopor’ adalah tidak lepas dari soal romantika, dinamika, dan dialektika, karena tidak hanya di dalam partai yang penuh dengan gejolaknya, tetapi terlebih di luar partai itu.

Lihat misalnya ketika Thatcher sebagai ketua Partai Konservatif itu membanting bukunya Von Hayek di atas meja, dan berseru di depan rapat partai: “Ini yang kita percayai!” Suara keras jelas akan timbul dari terbantingnya buku, tetapi jelas buku itu mengandung juga dunia ke-3, dunia dimana pikiran-pikiran Hayek terlahir. Tapi Thatcher tahu persis bahwa masihlah diperlukan ‘dunia ke-2 yang tepat’ sehingga pemikiran Hayek itu bisa dihayati secara benar dan mempunyai outcome sebagaimana mestinya. Maka ia kemudian menandaskan bahwa pemikiran-pemikiran Hayek (neoliberalisme) itu hanyalah sebuah metode saja, yang paling penting adalah mengubah heart and soul. ‘Hati dan jiwa’ yang tepat dalam menghayati pemikiran Hayek tersebut. Dan itu jelas bukan ‘hati dan jiwa’ yang malas seperti berkembang dalam dunia walfare state ala pasca Perang Dunia II itu. Demikian menurut Thatcher dkk, dan tentu kita boleh tidak setuju. Dari film Iron Lady dan biografinya, kita bisa lihat bagaimana konsisten-nya Thatcher itu, baik dalam keputusan politik dan bahkan dalam perilaku pribadinya. Dan singkat cerita, neoliberalisme-pun ternyata memerlukan ‘partai pelopor’-nya sendiri.

Ketika kelola kuasa semakin dilekati dengan tindak kesewenang-wenangan, partai politik dengan semangat ke-peloporan-nya itu sebenarnya adalah ujung tombak dalam menghadapinya. Baik kesewenang-wenangan di dunia ke-1, dunia ke-2, maupun di dunia ke-3. Jika partai politik gagal dan bahkan ikut menikmati segala kesewenang-wenangan itu, maka sejarah menunjukkan bagaimana people power itu akan berkembang. Atau paling tidak, people power kemudian menjadi andalan bagi sebuah perubahan. Ulah keparat para buzzerRp-buzzerRp, laku asal njeplak, laku dalam konteks ‘pala loe péyang’ –semau-maunya bahasa tubuhnya itu, dan sekitar-sekitarnya, lemparan ‘ide’ sok-sok-an tiada henti itu, adalah beberapa bentuk kesewenang-wenangan di dunia ke-3. Dengan dunia ke-2 sudah disesaki dengan proses mental heart and soul-nya fanatisme, atau ketakutan yang terus membayang dan ditebar, maka dunia ke-1 itupun bisa-bisa akan terhayati dengan penuh distorsi, penuh bias. Dalam jangka panjang itu berarti: chaos, dengan segala konsekuensinya. Celah yang begitu menganga antara banyak hal dan representasinya. Dan jika kekuatan uang masihlah belum cukup untuk menutupnya, kekuatan kekerasanlah yang akan maju paling depan. ‘Rumus’-nya begitu bagi yang DNA-nya memang otoriter. *** (01-06-2021)

 

[1] Karl Popper, Three Worlds, THE TANNER LECTURE ON HUMAN VALUES, Delivered at The University of Michigan April 7, 1978

[2] Ibid.

[3] Ibid

Kesewenang-wenangan Di Dunia Ke-3