www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-05-2021

Pasca dua perang dunia mestinya banyak pelajaran dapat diperoleh. Tidak hanya bagaimana yang kalah perang kemudian bangkit, misal Jerman dan Jepang itu, tetapi juga bagaimana bermacam trauma dikelola, terlebih apa yang dilakukan oleh Jerman. Hitler dan Nazi-nya jelas adalah masa kelam dalam perjalanan Jerman, dan bagaimana kelamnya sejarah itu dikelola dengan baik kita bisa belajar dari Jerman. Dalam kesempatan ini bukan soal Hitler dan Nazi-nya itu, tetapi seperti yang baru-baru ini ditayangkan sebagai film dokumenter di DW-TV: A deadly legacy – Chemical weapons in Germany. Sebuah film dokumenter tentang sisa-sisa senjata perang dunia, dan terutama senjata kimia yang sudah dilarang penggunaannya itu sekarang. Ingat nama-nama senjata kimia yang mengerikan di masa lalu itu: tabun, sarin, phosgene dan mustard. Dan bayangkan jika itu terhirup dan kemudian merusak saluran napas, misalnya. Belum dampaknya pada sistem saraf. Mengerikan.

Untunglah kita juga si-homo ludens, manusia bermain, termasuk bermain-main sebagai kawan-lawan misalnya. Tidak hanya berlatih untuk menang dalam bermain, tetapi juga untuk menerima kekalahan. Lihat bagaimana pelatih, pemain, dan fans Manchester City itu dapat menerima kekalahan di final Liga Champions beberapa jam lalu itu. (Hidup Chelsea! Horeee....) Sedih, geram, marah, malu, tetapi tetaplah tidak kemudian ngamuk. Moga-moga. Tentu soal di luar lapangan bisa jauh berbeda, misalnya dalam lapangan politik. Tetapi meski begitu, politik tetaplah harus berterimakasih pada kemampuan di-homo ludens ini sehingga meski dasar adanya (politik) adalah pembedaan lawan-kawan, kemampuan mengenali batas masihlah dimungkinkan lewat pelajaran sepanjang hidup si-homo ludens. ‘Deadly legacy’ seperti digambarkan pada awal tulisan ini adalah sebuah penghayatan ketika batas-batas itu dilanggar, bahkan dengan semena-mena, secara brutal.

Jika politik memperoleh ‘lapangan bermain’-nya di alam demokrasi, maka bukannya tidak mungkin ia juga melahirkan ‘warisan yang mematikan’ itu. Di alam demokrasi yang baru berkembang, Andrew Jackson terpilih sebagai presiden AS ke 7 di tahun 1829. Salah satu yang dicatat terkait Andrew Jackson ini adalah apa yang disebut sebagai spoils system: “in politics and government, a spoils system (also known as a patronage system) is a practice in which a political party, after winning an election, gives government civil service jobs to its supporters, friends (cronyism), and relatives (nepotism) as a reward for working toward victory, and as an incentive to keep working for the party—as opposed to a merit system, where offices are awarded on the basis of some measure of merit, independent of political activity.[1] Setelah Perang Saudara selesai di AS sono, spoils system –bagi-bagi setelah menang secara ugal-ugalan, bahkan brutal, ini kemudian dilakukan koreksi secara serius. Sistem ini akhirnya terhayati oleh banyak pihak sebagai katakanlah, ‘warisan yang mematikan’ dari seorang Andrew Jackson. Konyolnya, setelah lebih dari satu abad diterima sebagai yang semestinya (tidak dipakai lagi spoils system itu), Trump di akhir-akhir jabatannya ingin menghidupkan lagi spoils system ini. Yang oleh Biden kemudian dibatalkan pada kesempatan pertamanya ketika ia naik jadi presiden. Tentu bagi-bagi kekuasaan setelah menang (akan lebih baik sebelum pemilihan sudah dilakukan secara terbuka) adalah wajar-wajar saja. Spoils system membuat itu di ujung ekstremnya, tidak mengenal batas lagi.

Maka adalah penting terutama kaum generasi muda untuk peka terhadap bermacam hal yang berpotensi berkembang sebagai ‘warisan mematikan’ ini. Karena bagaimanapun di masa depan ia yang akan berhadapan dengan bermacam warisan tersebut dalam waktu lebih lama. Lihat berapa saja biaya untuk membersihkan sisa-sisa senjata kimia bekas perang dunia itu, sampai sekarang. Belum bermacam penyakit yang diakibatkannya. Bahkan setelah sekian lama terkubur dalam tanah. Dalam laut. Yang ringan cuma bikin kulit melepuh, yang berat bahkan sampai membuat kanker berkembang. Akankah kita, dan terutama kaum generasi muda kita akan selalu tepuk tangan terhadap ‘politik asal njeplak’ misalnya, atau tepuk tangan meriah pada yang gegayaan saja itu, sok-sok-an saja bisanya. Di sini ngibul di sana ngibul di mana-mana selalu ngibul itu? Bukankah ini sebenarnya adalah sama dengan gas tabun, sarin, phosgene dan mustard itu? Hanya saja yang dibunuh adalah: akal sehat. Jika politik begitu disesaki hal-hal seperti itu, dan kemudian dihayati sebagai yang memang semestinya seperti itu, bukankah itu adalah warisan mematikan bagi hidup bersama di republik? Berapa biaya yang harus dikeluarkan nantinya untuk membersihkannya? Haruskah dengan perang saudara? Belum lagi soal korupsi, kolusi, nepotisme misalnya. Maka dari mana sebaiknya kita mulai untuk menghindarkan bermacam warisan yang mematikan itu demi masa depan republik?

Hari-hari ini sering muncul berita soal calon ini calon itu untuk 2024. Koalisi ini dan itu, dan bermacam lagi. Mengapa kita tidak fokus, mumpung waktu masih lama, ke soal ‘wasit’? KPU yang terakhir ini sungguh di bawah standar, sangat tidak bermutu. Belum lagi carut-marut soal data pemilih. Sistem IT-nya. Aturan bagi tukang-tukang survei itu. Jangan sampai KPU yang seperti sekarang ini menjadi model bagi yang selanjutnya. Rusak-rusakan nantinya. Menjadi warisan yang mematikan saja. Dari segala warisan mematikan itu, kecurangan adalah yang paling mematikan. *** (30-05-2021)

 

[1] https://en.wikipedia.org/wiki

/Spoils_system#:

Warisan Mematikan