www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-05-2021

Kata Carl Schmitt, ekonomi menjadi dimungkinkan ada karena adanya pembedaan untung dan rugi. Sedang politik dimungkinkan karena ada pembedaan lawan dan kawan. Tetapi ada yang berpendapat bahwa politik adalah satu langkah sebelum perang. Dan jika dilihat di atas, konsekuensi paling ujung dari pembedaan lawan dan kawan itu memang adalah perang. Jalan politik adalah jalan potensi adanya perpindahan kekuasaan dengan tidak melalui perang. Meski tidak melalui kekerasan senjata, tetapi tetap saja ‘kekuatan kekerasan’ akan selalu ‘membayang’, paling tidak melalui: gertak. Selain bermacam rayuan, kadang tipu-tipu juga, praktek politik juga tidak lepas dari kemampuan menggertak.

Maka sebenarnya dasar dari praktek politik tidak jauh dari apa yang menjadi dasar dari ‘modal sosial’, kepercayaan, trust. Bahkan dalam menggertak-pun harus ada kepercayaan, yaitu bahwa gertak itu bukanlah gertak sambal saja, misalnya. Atau dalam menipu, harus meyakinkan dan tidak mudah ketahuan. Jangan sampai kemudian muncul sindiran esok delé soré témpé (Jw.) itu. Politik bagaimanapun tidak lepas dari soal modal sosial yang berkembang. Robert Putnam menunjukkan hal tersebut. Masalahnya jika kita kemudian beranda-andai, modal sosial seperti apa yang berkembang ketika interaksi terjadi pada bagian masyarakat dengan simpanan di bank-nya lebih dari 5 milyar? Diantara yang simpanannya lebih dari 2 milyar? 100 juta? Atau bahkan diantara yang rekening bank-pun tidak punya. Atau yang punya rekening bank hanya karena disyaratkan untuk bantuan sosial, misalnya. Sama-sama mereka mengembangkan, katakanlah trust, norms of reciprocity, networking, bonding, dan bridging itu? Masalah akan menjadi tambah rumit jika kita bicara juga soal ‘pakta dominasi’. Tentu akan terjadi pula interaksi ‘antar golongan’ seperti bermacam ‘golongan’ dicontohkan di atas, tetapi apa yang mungkin bisa mendorong sehingga interaksi itu kemudian bisa dikatakan sebagai modal sosial bersama?

Nampaknya ada manfaatnya jika kita memakai ‘argumen pihak ketiga’ ketika Platon bicara soal persahabatan. Dan bukankah akan lebih ‘cepat hasil’ jika ‘pihak ketiga’ itu memang sudah lama menjadi keprihatinan bersama? Apapun itu, peristiwa 1998 lalu telah mengangkat ke permukaan apa-apa yang menjadi keprihatinan bersama, yaitu terutama adalah pemberantasan korupsi. Dan mengapa sekarang ‘pihak ketiga’ itu seakan sedang digeser mati-matian, bertubi-tubi dalam bermacam bentuk dan pintunya, ke soal ‘radikal-radikul’ itu? Maka tidak salah-salah amat jika kemudian banyak pihak yang menghayati soal kredibilitas (asal kata: credo, “I believe”) dari seorang pemimpin republik adalah pada soal pemberantasan korupsi ini. Ketika pemberantasan korupsi begitu mémblè-nya, bahkan pada dirinya juga lekat dengan kolusi dan nepotisme misalnya, kredibiltas-pun akan banyak dipertanyakan. Bahkan juga saat marah, geram ataupun kesal. Marah, geram, kesal yang muncul dari orang yang tidak kredibel. Maka dalam waktu panjang perlahan tapi pasti yang muncul dalam politik-pun adalah sebuah kerapuhan. Terlebih jika dikaitkan dengan kedaulatan. Siapa takut dengan gertakan dari seorang yang tidak kredibel? ‘Dialektika’ lawan-kawan itupun ternyata tidak memberikan spiral tesis-anti tesis-nya yang memajukan, dan bahkan jika tidak hati-hati: menghancurkan. *** (28-05-2021)

Marah, Geram, Kesal, dan Kredibilitas