www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-05-2021

Siapa suka di-audit, an official inspection of an individual's or organization's accounts, typically by an independent body?  Audit bukanlah kata asli Bahasa Indonesia. Ia serapan dari kata asing, dan dari asal katanya tidak jauh amat dari asal kata audio. Jadi dalam kata audit itu sendiri mengandung pengertian ‘mendengar’. Dan siapa suka mendengarkan orang lain dibanding dia sendiri yang bicara? Sama dengan bicara, soal mendengar inipun perlu dilatih pula. Terlebih ada soal ego terlibat di sini.

Ketika komponen masya-rakat sipil mengumpulkan donasi bagi bangsa Palestina, ada suara dari yang kakinya berat di ranah negara –orang partai politik, minta di-audit itu pengumpulan dana. Tidak sedikit yang kemudian merasa gerah, dan balik menuding: loe yang di ranah negara mestinya yang di-audit! Apa yang bisa dipelajari dari peristiwa ini? Salah satu yang membuat masyarakat sipil menjadi kuat adalah soal sangsi sosial, ujung dari adanya ‘audit-sosial’ yang mereka lakukan sendiri. Ketika sangsi sosial ini meredup pada dasarnya kekuatan masyarakat sipil inipun akan pincang. Tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga ketika berhadapan dengan negara. Tidak hanya sangsi sosial tentunya yang akan terlibat dalam merawat masyarakat sipil, tetapi juga ‘penghargaan sosial’ atau sekitarnya. Ketika bantuan bagi bangsa Palestina itu sampai pada tujuan dengan baik, tentu apresiasi akan diberikan. Demikian juga sebaliknya.

Tetapi mengapa meski sering kita risih dengan audit, kata audit itu sendiri sampai sekarang tetap bertahan? Kalau mengikuti Bourdieu, ‘tindakan audit’ bisa kita terima karena memang ada habitus, ranah, dan capital yang berkembang. Capital di sini tidaklah selalu merupakan kekuatan uang. Misal, dokter akan mempunyai capital tertinggi di rumah sakit, tetapi tidak misalnya: di ranah sepak bola. Maka memang ada soal ‘bermain peran’ dalam bermacam ‘teater-ranah’-nya. Yang tidak mudah dalam konteks kegiatan audit ini adalah soal habitus dan sikap dari si-capital tertinggi dalam ranah. Di beberapa negara, audit-medik yang ketat dan biasa dilakukan oleh lembaga asuransi akhirnya memaksa juga para tenaga medis untuk selalu siap di-audit, dan akhirnya pula itu berimbas pada bagaimana ia harus mempratekkan profesinya dari hari-ke-hari.

Check and balances pada dasarnya adalah juga mekanisme audit. Dan sebenarnya masyarakat sipil adalah auditor utama dari perilaku negara. Baik melalui upaya ke-suka-rela-annya, media massanya –pers, atau media sosial-nya, dan bermacam lagi. Tetapi seperti sudah disinggung di atas, kefektifan akan sangat tergantung dari paling tidak dua hal, yaitu soal mendengar dan sangsi sosial. Maka paling tidak akan ada dua hal yang akan dilakukan oleh ‘kekuatan status quo’ untuk melemahkan masyarakat sipil supaya laku ugal-ugalannya tidak direcoki terus, ia tidak akan mendengar dan kemampuan memberikan sangsi sosial itu digerogoti. Ujung tidak didengarnya bermacam ‘audit’ dari masyarakat sipil secara ‘serial’ itu adalah ‘ketidak-pedulian’. Ketika bagian masyarakat sipil yang sudah jatuh pada sikap tidak peduli pada urusan ranah negara itu semakin membesar maka itu adalah ‘berkah’ tersendiri bagi status quo. Tidak urusan apakah itu sebuah ‘pembangkangan terselubung’ atau sudah ‘capek’ saja. Apa di balik tetap dilantiknya pejabat di penjara di pemberitaan beberapa waktu lalu? Atau mantan koruptor tetap boleh nyalon untuk ngurusin negara? Itulah sebenarnya salah satu bagaimana sangsi sosial yang sangat penting dalam bangunan masyarakat sipil sedang digerogoti. Dan banyak lagi contoh lain, termasuk misalnya ulah para keparat buzzerRp-buzzerRp itu.

Sebenarnya ke-tidak-peduli-an itu bukannya ‘cek-kosong’ yang bisa diisi semau-maunya, karena bisa saja kemudian berkembang pemikiran, kalau tidak mau diaudit oleh sesama manusia, mengapa tidak Tuhan saja yang akan meng-audit? Dengan mengirim ‘utusan’-Nya, misalnya. Atau ‘satrio-piningit’ atau siapa sajalah pokoknya kemampuan ada ‘di atas’ manusia. Atau amuk? *** (25-05-2021)

Audit