www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-05-2021

Bagi yang masa dewasanya melalui jaman old, maka frasa ‘murni dan konsekuen’ sebagian besarnya akan mengakrabinya. Akrab sampai ke lubuk hati. Apalagi jika pada saat bersamaan dikumandangkan litani sila-sila Pancasila, plus butir-butir yang ada di pé-ampat itu.  Bukan Pancasila-nya kita bahas dalam kesempatan ini, tetapi soal ‘murni-murni-annya’ itu. Bicara soal manusia dan hidup/hidup bersamanya, jika mau menerapkan segala ‘kemurnian’ maka jika tidak hati-hati hanyalah akan menemui jalan buntunya, bahkan kemudian sebuah krisis. Lihat bagaimana sebuah krisis ‘sistemik’ yang menyeruak ketika ‘kemurnian’ sains dengan klaim obyektifnya itu mendaku bahwa inilah ‘dunia-obyektif-yang-sebenarnya’ dan kemudian meninggalkan jauh soal life-world yang dihayati manusia sehari-hari, demikian ditengarai oleh Edmund Husserl di awal-awal abad 20 lalu. Sampai dengan sekitar pertengahan abad lalu, dunia menorehkan catatan gelap terkait dengan soal ‘murni-murni-an’ hidup bersama manusia, yaitu ketika Hitler naik ke kekuasaan. Tidak jauh dari yang digambarkan oleh Husserl, bermacam ‘sains-otak-atik-gathuk’-pun kemudian berkembang atau dikembangkan sebagai legitimasi atas proses ‘pemurnian-ras’ yang digulirkan oleh Hitler.[1]

Salah satu yang berkembang dalam modernitas adalah obsesi penjelasan ilmiah terhadap bermacam hal, terutama hukum-hukum universal yang menggerakkan semesta. Newton dengan hukum gravitasinya adalah salah satu ‘pembuka jalan’ terhadap ‘gairah’ tersebut. Sebuah capaian bahkan loncatan yang banyak memberikan inspirasi bagi ilmuwan lainnya. Metode ilmiah sendiri akan lekat dengan nuansa ‘kemurnian’ karena hadirnya bermacam pembatasan. Sering dalam menjalankan metodenya, hal-hal lain dianggap konstan lebih dahulu. Tetapi dalam life-world, dunia yang dialami sehari-hari dalam inter-subyektifitasnya, tidak mungkin menganggap hal-hal lain itu sebagai hal yang konstan. Bahkan horison-pun akan selalu berubah seiring dengan intensitas inter-subyektifitas itu. Maka ‘jalan buntu’ atau bahkan munculnya krisis akibat obsesi terhadap ‘kemurnian’ sebenarnya disebabkan terutama oleh diingkarinya bermacam inter-subyektifitas yang membangun life-world itu. Krisis adalah ketika apa yang diharapkan itu menjadi terlalu jauh dari apa yang senyatanya dihayati khalayak dalam hidup sehari-harinya. Jurang menganga inilah yang akan membesarkan potensi hadirnya otoritarianisme, dengan mengatas-namakan segala ‘kemurnian’ itu. Jika obsesi akan kemurnian dalam ‘tribalisme’ itu diterus-teruskan misalnya, maka tidak mengherankan akan membesar pula ‘an insinct to exclude’, meminjam problematik yang dilempar oleh Amy Chua.[2] Dan jika Carl Schmitt benar pendapatnya bahwa konsep negara modern itu adalah sekulerisasi dari konsep teologi maka memang bisa dirasakan ‘godaan’ untuk jatuh pada genderang ‘pemurnian’ itu adalah besar. Karena dalam konsep teologi, Yang Segala-nya itu pastilah termasuk ‘Yang-Murni-Se-Murni-Murni-nya’.

Maka supaya tidak jatuh dalam godaan ‘pemurnian’ dan bahkan kemudian jatuh dalam sebuah sikap obsesif, sekali lagi, inter-subyektifitas adalah sangat penting. Jika inter-subyektifitas menjadi penting maka keberpikiran-pun akan menjadi penting juga. Berpikir dalam segala tingkatannya, dari yang ‘biasa-biasa’ saja sampai dengan yang menjadikan sains sebagai basis berpikir. Dari bermacam pengetahuan yang terendap dari pengalaman sehari-hari sampai dengan bermacam pengetahuan yang mengambil rute metode ilmiah. Risihnya sikap obsesif terhadap ‘pemurnian’ terhadap inter-subyektifitas ini bisa dilihat misalnya dari semakin membesarnya ketakutan dari khalayak untuk bersuara. Atau berpendapat. Atau lihat bagaimana buzzer-buzzer bayaran itu mengacak-acak ‘dunia inter-subyektifitas’ dengan laku ujar yang sewenang-wenang.

Dalam demokrasi, inter-subyektifitas merupakan hal sentral. Dan dalam dinamika tersebut bisa-bisa muncul berbagai tuntutan yang mana itu akan bertabrakan dengan kepentingan ‘profit making’ para pemilik modal. Harold J. Laski sekitar 100 tahun lalu (dalam The State in Theory and Practice) telah menampakkan dilema yang digendong oleh demokrasi. Dan ditunjukkan oleh Laski bagaimana fasisme bisa menjadi salah satu (jalan gampang) dalam ‘menyelesaikan’ dilema itu. Maka dimungkinkan pula munculnya ‘koalisi’ dari para pemilik modal dengan yang sedang obsesif dengan segala ‘pemurnian’. Titik temunya: fasisme. *** (06-05-2021)

 

[1] Lihat juga, https://www.pergerakankebang

saan.com/722-Di-Tengah-Kerapuhan/

[2] Ibid


 

Murni dan (Tidak) Konsekuen