www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-05-2021

Apapun itu, ketika orang setingkat menteri melaporkan adanya data ganda penerima bantuan sosial ke KPK jelas peristiwa bukan main-main lagi. Bukan glécénan lagi. Maka jika kemudian itu tertanggapi dengan segala nuansa glécénan, sungguh sangat laknat ‘drama’ itu. Karena bukan hanya soal kegandaannya saja, tetapi konsekuensi bocornya anggaran negarapun membayang jelas. Soal data ganda, soal data fiktif, sudah banyak di sana-sini disuarakan oleh banyak pihak. Tidak hanya data penerima bansos, tetapi juga banyak pihak yang gelisah soal data penerima dana stimulus UMKM, misalnya. Atau lihat soal yang terkait dengan program kartu pra kerja itu. Dan macam-macam lagi, termasuk di sini misalnya, data pemilih saat pemilihan terakhir kemarin. Soal pemakaian antigen bekas dalam tes COVID-19 (!) yang terberitakan baru-baru ini, jelas ini bukan semata soal keserakahan saja. Tetapi adalah juga soal bagaimana pentingnya data itu terhayati.

Kata data adalah serapan dari bahasa asing, salah satu makna kuatnya adalah ‘numerical facts collected for future reference’. Data dari asal katanya tidak lepas dari datum (Lt.), yang juga berarti ‘a fixed starting point of a scale or operation’. Dari makna kata-katanya saja, mempermainkan data itu juga berarti pula mempermainkan masa depan. Sebuah bentuk kejahatan ‘tak-termaafkan’ sebenarnya. Tetapi di luar kejahatan luar biasanya, adalah menarik ketika KPK menjadi tempat untuk melaporkan data ganda penerima bansos itu. KPK dalam perjalanan pembentukan bisa dikatakan sebagai lembaga ad-hoc, bersama dengan lembaga-lembaga ad-hoc lainnya. Sebuah ‘paradigma baru’: ad-hoc-cracy, yang muncul karena bureau-cracy dirasa-rasa kurang kompatibel dengan fleksibilitas dunia yang terus bergerak. Atau sebenarnya pasar yang diyakini mengalami percepatan dalam geraknya. Atau bisa dibaca juga, pasar neoliberalisme itu.

Atau lihat bagaimana Ronald Reagen bicara soal government, yang dengan tegas mengatakan bahwa government adalah bagian dari problem. Dalam arti ‘tubuh besar’-nya itu membuat tidak lincah dalam menghadapi dunia yang bergerak. Tentu gerak pasar neoliberalisme dalam hal ini. Sebuah ‘introduction’ bagi halaman-halaman berikut yang membahas soal ultra-minimal state itu. Dan lihat pula yang dikatakan oleh Joe Biden sekitar 40 tahun kemudian, yang menegaskan dengan terang-benderang, government adalah bagian dari solusi. Biden sedang ‘cuci piring’ terhadap ugal-ugalannya ‘koalisi’ antara pasar dan ultra-minimal state itu? Tetapi pendapat Alvin Toffler yang ikut membesarkan ad-hoc-cracy di sekitar tahun 1970-an itu, pendapatnya soal birokrasi tetaplah perlu diperhatikan. Tidak semua hal kemudian menjadi ‘salah’ atau ‘jahat’ hanya karena terhubung atau bisa dihubung-hubungkan dengan paradigma neoliberalisme.

[N]o matter how many parties run against one another in elections, and no matter who gets the most votes, a single party always wins. It is the Invisible Party of bureaucracy,”[1] demikian tulis Alvin Toffler dalam Power Shift. Atau bisa kita bayangkan juga, entah itu government sebagai problem atau solusi, masalah birokrasi ini tetaplah sangat perlu untuk selalu ditempatkan di bawah ‘mikroskop’. Terlebih jika kita kaitkan dengan soal ‘data ganda’ di atas, sebab bagaimanapun pengumpulan data-data dari government itu tidak akan lepas dari peran birokrasi. Bagaimana ketika para penyidik KPK itu kemudian sudah berstatus PNS? Apakah nanti ‘drama’-nya akan berjudul: Jeruk Makan Jeruk? Kita lihat nanti bagaimana tayangan serial-nya. *** (02-05-2021)

 

[1] Alvin Toffler, Power Shift, Bantam Books, 1990, hlm. 257


 

'Data Ganda' Itu: Bocor ... Bocor ... Bocor ... Bocor ... Bocor ... Bocor ... Bocor ... 

gallery/angry