www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-04-2021

Kedaulatan tidaklah hadir diruang kosong, paling tidak ia ada di sebuah kebudayaan tertentu. Ada di dalam bermacam dunia yang dibangun oleh bermacam interaksi dari bermacam manusia. Tulisan ini berdasarkan pendapat Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan yang berpendapat bahwa bermacam perkembangan kebudayaan-peradaban manusia itu akan melibatkan tahap mitis, ontologis, dan fungsionil. Maka penghayatan akan kedaulatan-pun tidak akan lepas dari tahap-tahap tersebut, apalagi jika kedaulatan itu dimaksudkan untuk ‘mengelola’ hidup bersama. Meski dipakai istilah ‘tahap-tahap’ tetapi bukan menunjuk bahwa perkembangan dari satu tahap ke tahap lainnya itu kemudian menghapus tahap sebelumnya. Ketiga tahap tersebut bisa ada dalam satu komunitas secara bersamaan.

Bagaimana khalayak menghayati kedaulatan atau power yang dimaksudkan untuk ‘mengelola’ hidup bersama? Memang ada penelitian di sekitar tahun 1970-an yang kemudian memunculkan istilah power distance itu. Tetapi jika memakai pembedaan van Peursen di atas, maka bagaimana kedaulatan akan dihayati akan terkait dengan bagaimana itu di-operasikan, atau dihayati esensinya, atau bahkan pada ‘sifat-magis’ dari kedaulatan itu. Pada penghayatan tahap fungsionil maka kedaulatan akan dihayati bagaimana itu dioperasikan secara ‘logis’ dengan kaidah-kaidah tertentu yang harus ditaati. Bagaimana beroperasinya kedaulatan itu berdampak kongkret pada kehidupan sehari-hari. Pada penghayatan ontologis maka akan dilihat bagaimana kedaulatan itu dijalankan berdasarkan apa sebenarnya yang menjadi esensinya. Keadilan misalnya, atau lainnya. Maka dalam penghayatan ontologis ini, kualitas diri dari pemegang kedaulatan itu-pun bisa dipersoalkan, apakah mereka-mereka itu, katakanlah, mempunyai keutamaan-keutamaan tertentu yang itu semestinya melekat pada yang berdaulat. Keutamaan yang akan sungguh berarti ketika upaya mengoperasionalkan hakekat kedaulatan itu. Penghayatan mitis terhadap kedaulatan akan lebih terhayati terkait dengan ‘sihir-hirarki’. Atau kalau kita memakai istilah power distance, ini akan ada di ranah power distance tinggi.

Jika kedaulatan itu terhayati dalam operasionalisasinya, dan dampak kongkret pada hidup sehari-hari memang signifikan positif bagi khalayak kebanyakan, maka biasanya pertanyaan akan kualitas dari pengelola kedaulatan tidak terlalu mengusik. Keluaran yang baik akan dihayati juga ada dalam proses yang baik pula, dan dengan input pengelola juga mestinya baik pula. Meski tidak selalu dalam garis lurus seperti itu, tetapi sangat tidaklah salah penghayatan seperti itu. Bagaimana jika dampak kongkret, outcome-nya begitu morat-marit? Hanya dinikmati oleh segelintir saja, misalnya? Maka wajar jika kualitas pengelola kedaulatan itu kemudian dipertanyakan. Apakah dia itu paham nggak apa hakekat dari kedaulatan yang sementara ini ia kelola itu? Jangan-jangan ia tidak tahu, bahkan dia sendiri bukan orang berkeutamaan pula. Ambyar pol.

Hal di atas adalah salah satu kemungkinan dari sisi khalayak, lalu bagaimana dari sisi si-pengelola kedaulatan itu? Bisa saja dari sisi pengelola kedaulatan saat itu ia akan otak-atik itu outcome-nya. Entah dengan sulap-sulap data, mengerahkan media partisan, jualan mimpi atau lainnya, yang intinya adalah ‘melumpuhkan’ pertanyaan-pertanyaan soal outcome kongkret, yang itu bisa-bisa kemudian mengarah pada pertanyaan soal dirinya. Kualitas diri sebagai pengelola kedaulatan saat itu. Bukannya terus mati-matian memperbaiki kondisi, entah karena pertimbangan apa. Ketika ini sudah dilakukan, dan masih saja ada pertanyaan soal kualitas diri, maka dikerahkan pula ‘pasukan-puja-puji’ yang sungguh sudah putus urat malunya itu. Atau kemudian menyalahkan si-A, si-B, atau bahkan masa lalu, dan lain-lainnya. Atau ‘menekan’ –salah satunya dengan ‘sandera kasus’ misalnya, supaya ada orang-orang sekitar tertentu untuk berperilaku sungguh ‘tidak mutu’ untuk ‘menaikkan-harga-kilau-mutu’ dirinya. Bukan dirinya yang diubah –karena mungkin sudah mentok, tetapi background-nya.

Jika pasukan puja-puji sudah dikerahkan dan background rutin diubah-ubah dirasa masih belum cukup, apa yang akan dilakukan dari sisi si-pengelola kedaulatan itu? Maka hirarki-pun akan dimainken. Hak-hak istimewa yang melekat pada diri si-pengelola kedaulatan itu kemudian dimainkan untuk menegaskan kedaulatan yang di tangan. Layaknya sebuah sihir atau bandul yang diayun-ayunkan di depan mata untuk mengatakan pada khalayak siapa sebenarnya pemegang kedaulatan itu. Dari yang ugal-ugalan: kalo gué mau gini terus loe mau apé, misalnya. Sampai dengan yang ‘konstitusional’ seperti saat hak prerogatif itu dimainken. Dibuat panas-dinginnya. Hal yang sebenarnya biasa-biasa saja kemudian dimainken untuk menunjukkan betapa powerful-nya si-sunuhun. “Sovereign is he who decides on the exception,” demikian Carl Schmitt sekitar 100 tahun lalu. Dan sambil menyelam minum air, sekaligus juga ingin menunjukkan betapa ‘bersih’-nya si-sinuhun. Cuci gudang, cuci ke-mediokeran. Tentu semua ini dengan bantuan all-out pasukan horé-nya. Bermacam pasukan horé yang jelas juga, tidak murah.

Bagaimana jika bermacam hal di atas masih dirasa kurang? Maka kemungkinan di luar ‘kebudayaan-peradaban’-lah yang akan terjadi: dengan kekuatan kekerasan. *** (18-04-2021)


 

Strategi Kedaulatan

gallery/silicon valley indon

https://twitter.com/panca66/status/1381724977125187584