www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-04-2021

Teknologi dan sains adalah salah satu buah dari ‘eksternalisasi’ peradaban manusia, dan kemudian mengalami ‘obyektifikasi’-nya, akhirnya mengalami internalisasi, dan ikut bahkan berpengaruh besar dalam hidup manusia. Teknologi dan sains kemudian berperan besar dalam upaya manusia memajukan hidup bersamanya. Dengan kemajuan teknologi pula manusia menjadi semakin ‘akrab’ dengan ketidak-pastian, dalam arti semakin mampu atau percaya diri dalam ‘mengelola’ ketidak-pastian yang selalu melingkupinya. Ketidak-pastian terkait dengan perubahan iklim misalnya, selain semakin dipahami sebagai dampak-dampak dari perkembangan teknologi itu sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan harapan ditemukan tekhnologi yang semakin ramah lingkungan-pun semakin membesar pula. Terkait dengan perubahan iklim yang sudah menuju pada situasi kedaruratan iklim ini, tiba-tiba saja menjadi teringat apa yang pernah ditulis Prof. Soemitro Djojohadikusumo sekitar 50 tahun lalu.

Tulisan yang dikompilasi oleh YB. Mangunwijaya dalam buku Teknologi dan Dampak Kebudayaannya Vol. 1 (YOI, 1987, hlm. 1-5) merupakan tulisan Prof. Soemitro di Majalah Prisma No.1 tahun 1975 dan Prisma No. 6 tahun 1975.[1]Program kebijaksanaan riset jangka pendek maupun jangka panjang mengandung suatu tugas berat bagi masyarakat tenaga ilmuwan umumnya dan tenaga peneliti khususnya. Ini merupakan tantangan untuk mengembangkan sifat dan jenis teknologi yang diperlukan untuk menghadapi masalah-masalah pokok di masa datang. masyarakat kita membutuhkan ketiga jenis teknologi, yaitu teknologi maju, teknologi yang bersifat adaptif, dan teknologi yang bersifat protektif,” demikian Prof. Soemitro menandaskan. Kalau kita lihat lebih jauh, apa-apa yang disampaikan oleh Prof. Soemitro ini adalah juga sebuah ajakan, yaitu ketika berhadapan dengan teknologi janganlah lupa dengan apa yang kongkret dihadapi oleh warga kebanyakan sehari-hari. ‘Godaan’ terbesar dari teknologi dan sains adalah tidak jauh-jauh amat dari yang berkeyakinan bahwa pasar-swatata itu adalah segalanya, dalam arti hidup bersama adalah bagian dari pasar. Dunia yang obyektif adalah dunia menurut teknologi-sains itu, dan itu jugalah yang nyata, demikian kira-kira klaimnya.

Terutama teknologi yang bersifat adaptif dan protektif adalah sebuah ‘upaya sadar’ sehingga teknologi dan sains tidak ‘ugal-ugalan’ dengan klaimnya seperti disebut di atas. Katakanlah seorang pilot di angkasa, horison karena penglihatannya itu tidak kemudian ‘dimatikan’ oleh horison yang terbangun oleh bermacam teknologi bawaan pesawat yang muncul dalam panel-panel di kokpit itu. Penghayatan ‘subyektif’ dari manusia terhadap dunia sekitar dimana ia berada semestinya adalah sama nyatanya dengan dunia ‘obyektif’ yang di klaim oleh teknologi dan sains itu. Terutama bagi pembuat kebijakan, jangan sampai teknologi, terlebih teknologi maju berubah menjadi ‘sihir’ yang membutakan dalam melihat realitas penghayatan keseharian yang dihadapi warganya.

Bukan pula kemudian menjadi anti teknologi dan sains, terutama teknologi maju itu. Tidak ada soal anti-anti-an di sini. Tetapi lihat misalnya, berapa kali krisis kita hadapi terkait dengan klaim pasar-swatata yang maunya mengkooptasi hidup bersama itu? *** (14-04-2021)

 

[1] Lihat, https://www.pergerakankebang

saan.com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/

Tiga 'Klaster' Teknologi

gallery/silicon valley indon

https://twitter.com/panca66/status/1381724977125187584