www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-04-2021

Jika Carl Schmitt hampir 100 tahun lalu benar bahwa “all significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts,” maka ‘keselamatan’ duniawi dalam nation-state menjadi sangat penting. Orang dari bermacam negara, bermacam suku, bermacam status sosial bisa merayakan peristiwa keagamaan dengan kegembiraan yang relatif sama, maka bagaimana orang-orang yang hidup dalam sebuah nation-state juga bisa merayakan nation-state-nya dengan kegembiraan yang relatif sama juga? Mereka dalam agama masing-masing meski bisa hadir bermacam ‘status-sosial’-nya, tetapi ada keyakinan bahwa di hadapan Tuhan mereka adalah sama, paling tidak sama-rasa-sama-rata dalam potensi untuk masuk surga, atau juga masuk neraka. Maka demikian juga ketika berhadapan dengan nation-state, potensi untuk menggapai ‘keselamatan duniawi’-pun semestinya sama-rata-sama-rasa. Tetapi faktanya tidaklah demikian, maka jika Carl Schmitt benar seperti pendapatnya di atas, nation-state semestinya selalu berusaha pada pengembangan bermacam potensi untuk menggapai ‘keselamatan duniawi’ 'umat'-nya, warganya, menjadi prioritas utama adanya. Segala dinamika ‘keberesan politik’ dalam nation-state itu semestinya berujung pula pada meningkatnya ‘keberesan-rejeki’ seluruh warga negaranya, meminjam istilah si Bung.

Maka tantangan utama nation-state adalah ‘meningkatkan harapan hidup’ di dunia. Tentu bukan berarti kemudian menghapus ‘harapan hidup’ setelah kematian. Jelas juga bisa dikatakan di sini, ‘meningkatkan harapan hidup’ di dunia sebenarnya akan juga memberikan peluang besar untuk ‘meningkatkan harapan hidup’ setelah kematian. Jika nation- building adalah bagian dalam merawat nation-state, maka baik langsung atau tidak nation-building ini juga akan berperan penting pertama-tama dalam ‘meningkatkan harapan hidup’ ini. Bagaimana harapan hidup ini akan ditingkatkan? Melalui bermacam kebutuhan yang dibedakan oleh Abraham Maslow bisa kita gunakan sebagai titik berangkat.

Atau bisa kita kembangkan, hal-hal yang menghambat pengembangan potensi dalam memenuhi kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, serta aktualisasi diri itulah penghambat atau ‘musuh-musuh utama’ dari upaya nation-building. Bagaimana potensi dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan fisik dan lain-lainnya itu dalam sebuah nation-state yang mengambil bentuk res-publica? Marx menuntun kita untuk mengambil perhatian lebih pada relasi-relasi produksi yang konkret berkembang. Tetapi bagaimana sehingga kita mau atau mampu ‘menengok’ hal tersebut? Dengan bahasa! Tetapi apa yang mendahului sebuah bahasa. Ada yang berpendapat, kita berpikir dulu baru berbahasa. Tetapi dari mana datangnya keinginan dan kemampuan berpikir itu? Dari suatu yang melayang-layang dan tiba-tiba saja hinggap di otak kita atau dari realitas kongkret di depan mata? Kembali Marx menuntun kita untuk mulai dari realitas kongkret, dan sekali lagi, terutama pada relasi-relasi produksi yang kongkret berkembang. Maka bisa dikatakan di sini bahwa suatu nation-building itu akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa, dalam berpikir, serta realitas relasi-relasi produksi yang berkembang.

Tetapi dari bermacam kebutuhan yang dibedakan Maslow seperti di atas, hidup tidaklah melulu urusan ‘relasi-relasi produksi’. Memang hubungan relasi-relasi produksi ini akan menentukan banyak hal, tetapi ini bisa juga jatuh pada sebuah ‘penyederhanaan kronis’ terhadap kekayaan wajah hidup. Di ujung satu mengatakan hanya pasar swatata-lah yang akan menentukan segalanya, di ujung sebaliknya adalah sentralisme. Bagi beberapa pemikir, utopia akan mengajukan kritiknya terhadap rigiditas pandangan-pandangan ini. Atau mungkin bisa kita jumpai dalam ‘terobosan-terobosan’ dari para seniman yang membuat hidup semakin menampakkan bermacam dimensinya. Maka ketika para seniman dalam bermacam ekspresinya itu menjadi semakin ‘miskin’ dalam kebebasan ekspresinya, itulah juga salah satu tanda mulai ‘kesrimpet’-nya, mulai tertatih-tatihnya upaya nation-building. Dan jelas juga, meski karya-karya seniman bisa mempengaruhi dengan cara-cara tak terduganya, bahkan luas cakupannya, ia bukanlah seorang ‘influencer’ dalam konotasinya jaman now. Bukan luasnya pengaruh atau jumlah follower-nya, tetapi bagaimana ia menguak kedalaman-tanpa-batas-lah ia menunjukkan pengaruhnya pada bermacamnya wajah kita.

Tetapi Marx perlulah tetap diperhatikan, dengan hati-hati pada ‘jebakan’ over-deterministiknya tentunya. Terlebih jika ranahnya adalah res-publica. Bagaimana relasi-relasi produksi itu menjadi 'masalah publik'. Bagaimana relasi-relasi produksi itu ‘dipikirkan’ secara mendalam apa-apa yang sebenarnya sedang berlangsung. Dan bagaimana itu dibahasakan sehingga perubahan-perubahan bisa diperjuangkan. Dan tentunya adalah praxis perubahan itu sendirilah yang akan menduduki peran sentralnya. Berpikir, berbahasa, dan praxis adalah satu kesatuan tidak terpisahkan. Dinamika reformasi sekitar 25 tahun lalu itu adalah juga sebuah praxis perubahan. Sayangnya, tidak ada satupun yang kemudian bisa disebut sebagai semacam, katakanlah, ‘partai pelopor’ itu, setelahnya. *** (11-04-2021)

#1 Nation-Building Enemy