www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-03-2021

Bagaimana kita menerima ketidak-pastian menjadi bagian dari keseharian? Binatang dengan instingnya bisa merasakan bermacam tanda alam dan kemudian misalnya terus turun gunung. Karena dirasa-rasa tanda-tanda alam itu seakan memberikan tanda bahwa gunung akan meletus. Insting yang akan semakin terasah ketika dihadapkan pada upaya bertahan hidup. Termasuk kapan saat harus mulai mengejar mangsa. Dari bermacam pernak-pernik evolusi beratus-ribu-tahun akhirnya manusia menjadi lebih terbedakan dengan binatang lain karena kemampuan otaknya. Sama-sama menghadapi ketidak-pastian manusia kemudian tidak hanya mengandalkan instingnya saja, tetapi juga kemampuan otaknya.

Di dalam ketidak-pastian itu tentunya ada hal yang pasti, sayangnya itu adalah adanya ketidak-pastian itu sendiri. Mungkin itulah mengapa Polybius lebih dari 2000 tahun lalu menekankan soal ‘pentingnya’ ketakutan itu. Ketakutan bersama yang membuat manusia terus berkumpul. Berkumpul dan (kemudian) berkembangnya interaksi itu ternyata perlahan membuat horison juga berkembang. Horison yang sekaligus membatasi, tetapi sekaligus tidak mengingkari ketidak-terbatasan ketidak-pastian itu. Dunia yang terbangun bersama saat berkumpul itulah melalui bermacam interaksi menjadi bahan bakar bagaimana horison hidup bersama dimajukan. Dengan semakin maju horison, batas-pun semakin melebar dan ketidak-pastian semakin tergerogoti dalam kesadaran bersama.

Menurut Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, manusia membangun relasi dengan dunia dengan tiga modus, magis, ontologis, dan fungsional. Tidak jauh berbeda jika ada yang mengatakan bahwa respon akan ketidak-pastian itu dapat juga didasarkan pada ajaran agama/keyakinan, hukum, atau tekhnologi. Jika mengikuti Van Peursen maka ketiga ‘modus’ itu bukanlah saling meniadakan melalui tahap-tahapnya, tetapi bisa sekaligus ada dalam dinamika diri. Tetapi terutamalah dengan berkembangnya hukum dan tekhnologi kemajuan horison mengalami percepatannya. Hukum tidak hanya soal hubungan antar manusia dan pengadilannya, tetapi ‘hukum-hukum alam’-pun semakin terkuak. Lihat bagaimana soal ‘hukum’ gravitasi Newton telah memicu pula pemahaman akan alam yang lebih luas dan dalam. Tidak hanya soal alam tetapi juga ‘hukum gravitasi’ apa dalam diri manusia dan hubungan antar manusia yang membuat mewujudnya ‘tertib tatanan’ itu, misalnya. Masalahnya seperti pernah ditulis oleh Abraham J. Heschel dalam Who Is Man? (1963), “teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi bintang itu sendiri, tetapi teori tentang manusia akan sangat mempengaruhi manusia”, demikian kurang lebih ditulis Heschel.

Lihat misalnya ‘siklus rejim’ dan ‘kombinasi rejim’ yang pernah muncul dalam pembicaraan ‘teori tentang manusia’ itu sejak lebih dari 2000 tahun lalu itu ternyata masih juga bisa dirasakan denyutnya sampai sekarang. Ketika pada satu penggal waktu ‘rasa monarki’ itu kemudian terjerumus dalam ‘ketidak-pastian’ tirani dalam wacana ‘presiden seumur hidup’, tiba-tiba saja keinginan untuk membangun ‘rejim aristokrasi’ atau katakanlah ‘rejim teknokrasi’ kemudian muncul. Tetapi ketidak-pastian kemudian berkembang ketika rejim berubah menjadi ‘rejim oligarki’, dan dengan ‘biaya macam-macam’ yang sangat besar maka disongsonglah ‘rejim demokrasi’. Di era ‘masyarakat jaringan’ ala Manuel Castells itu, ‘dunia digital’ di-acak-acak oleh para buzzerRp dan didorong serasa mob-rule dunia netizen, dan bersamaan dengan itu ‘yang terpilih’ melalui jalan demokratis itu menjadi sering ‘macak atau dipacaki’ ala raja-raja. Bahkan lantunan puja-puji setinggi langit-pun dialirkan secara deras. Seakan eranya adalah era monarki, menggantikan rejim demokrasi yang (seakan) sudah menjadi mob-rule itu, paling tidak di dunia digital. Kegilaan di dunia digital yang (akhirnya) juga membelah kehidupan riil. Tidak ketinggalan pula seakan juga didorong pada kegilaan saling lapor di dunia non-digital itu. Dan nampaknya bablasan oligarki jaman old itu sudah sangat kebelet, ‘tahap’ aristokrasi –katakanlah teknokratik misalnya, pun maunya dilewati saja. Ada yang dimunculkan, tetapi tidak lama kemudian ‘dipecat’ juga. Bisakah dibayangkan apa maunya sih jika ada kementrian, banyak kementrian, diisi oleh bukan yang ahli di bidangnya?

‘Percepatan’ rejim oligarki bablasan jaman old ini tentunya tidak ingin mengulang ‘cerita lama’-nya, jatuh ke rejim demokrasi. Maka dibayangkanlah ‘rejim kombinasi’ ala jaman Romawi seperti digambarkan oleh Polybius itu, dengan sentral utamanya bukan di-demos, bukan pula di-si-monark/ tiran, ataupun si-teknokratnya, tetapi di para oligark itu. Dan untuk masuk dalam kalangan kaum oligarki akan ada tiga jalur, jalur KU: kekuatan uang, KP: kekuatan pengetahuan, dan KK: kekuatan kekerasan.[1] ‘Modifikasi’ dari jaman old. Namanya saja bablasan. Pertanyaan besarnya adalah, siapa ‘patron-dari-segala-patron’-nya kali ini? Tetapi apapun bentuk bablasannya, siapapun yang menjadi ‘patron-dari-segala-patron’, satu yang sangat sulit untuk di-’modifikasi’: sesuatu yang akan memberikan kepastian lebih di tengah-tengah ketidak-pastian, yaitu ketika peluru menerjang, darah akan mengucur. Minimal. Dan juga yang pasti dari ketidak-pastian, ketidak-pastian itu sendiri yang diterjemahkan dalam ‘olah-ketakutan’. Apapun bentuknya. Apapun ‘bahan’ utamanya. *** (05-03-2021)

 

[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.

com/689-Mati-matian-Menolak-Siklus/

Ketidak-pastian