www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-02-2021

Pada awalnya adalah: tidak susah-susah amat mengatasi macet dan banjir di Ibukota, begitu kata seorang walikota yang sedang mengincar kursi gubernur. Masuk ‘babak kedua’ dikatakan pula, macet dan banjir akan mudah diatasi jika ia jadi presiden, begitu kata seorang gubernur yang berasal dari walikota tersebut ketika sedang mengincar kursi presiden. Ketika banjir masih saja datang meski intensitas dan cakupan sudah banyak berkurang, ada pengamat usul supaya gubernur sekarang itu mendengar saran-saran dari presiden yang dulunya juga gubernur itu. Wolak-waliké jaman (édan).

Pada awalnya adalah: virus COVID-19 tidak akan masuk republik, demikian seorang pejabat dengan penuh keyakinan. Karena ijinnya berbelit-belit, timpal seorang pejabat glècènan. Karena warga republik suka makan nasi kucing, demikian ikutan glècènan yang sudah tidak ketulungan itu. Bahkan kemudian viral beberapa pejabat goyang ubur-ubur untuk meyakinkan bahwa republik baik-baik saja di tengah-tengah bangsa lain mulai kerepotan menghadapi virus. Ketika banyak negara mulai menutup perbatasan, justru pariwisata untuk turis asing mendapat insentif ketika virus semakin menggila. Ada masanya pilkada ngotot dilaksanakan, tetapi ada masanya pilkada ngotot ditunda dengan jungkir balik argumen mbèlgèdès. Ada juga yang kemudian gegayaan memaksa new normal. Bahkan bantuan untuk rakyat akibat pandemipun di-embat, dikorupsi! Ketika pandemi membuat banyak PHK, tega-teganya membuat program ilusi pelatihan kerja yang ujung-ujungnya, ya di-embatlah itu duit. Setahun berlalu dengan entengnya pejabat mengatakan bahwa ada 2 juta data belum masuk. Maka resepnya tak jauh dari sejak jaman Romawi, tentang roti dan sirkus, hanya saja roti-nya bagian besarnya adalah untuk konco-konconya sendiri, sedang warga kebanyakan cukup diberi tontonan sirkus. Sirkus-sirkus dimainkan sebagai tirai asap tebal yang akan menyamarkan bagaimana sebenarnya roti itu (sedang) dibagi. Dan masih bermacam lagi paragraf yang bisa dibuka dengan ‘pada awalnya’ itu. Misal, pada awalnya adalah duitnya itu ada. Pada awalnya adalah mengapa harus utang? Pada awalnya adalah tidak mau bagi-bagi kursi. Pada awalnya pemberantasan korupsi akan didukung habis-habisan. Dan seterusnya.

Dalam pandemi ini paling tidak dapat dibedakan respon khalayak menjadi dua, pertama dengan berangkat dari virusnya sendiri, dan kedua berangkat dari imajinasi soal peristiwanya. Yang kedua ini akan lebih diwarnai oleh teori konspirasi soal merebaknya pandemi, juga ada yang berangkat dari soal kebebasan atau lainnya, sehingga akan cenderung melawan bermacam bentuk lockdown, misalnya. Yang pertama nampaknya lebih bisa diajak ‘duduk bersama’ dengan berangkat pada fakta perilaku virus beserta karakteristiknya. Tentu yang pertama lebih tidak mudah, tetapi dalam jangka panjang ini lebih menjanjikan. Yang kedua sebagian merupakan jalan gampang saja terlebih yang berdasarkan teori konspirasi itu. Tetapi jika imajinasi terkait soal kebebasan misalnya, soal hak atas tubuh misalnya, lebih baik juga didengarkan. Apa yang mau disampaikan di sini adalah, lebih baik berangkat adalah pada senyatanya ada, daripada pada apa yang sebaiknya ada. Dalam konteks pandemi adalah virus COVID-19 itu, yang sebenarnya pemahaman tidaklah murni berangkat dari nol sebab bermacam wabah sebelumnya bahkan dengan virus yang mirip, seharusnya pula memberikan banyak pelajaran.

Dinamika politik memang ada di ruang antara –in between, antara senyatanya ada dan yang sebaiknya ada. Ketegangan di ruang antara itu tidaklah diisi hanya oleh bermacam harapan, tetapi juga banyak pembajak bertebaran di situ. The Silent Takeover-nya Noreena Hertz bercerita banyak bagaimana pembajak-pembajak ini bisa begitu serakahnya. Dalam pemilihan sebagian besar pemilih akan memilih berdasarkan harapan, berdasarkan bayangan yang akan mewujud di 4-5 tahun mendatang. Mungkin karena inilah juga Machiavelli menandaskan bahwa kebanyakan orang akan mudah ditipu, karena harapan yang muncul di kampanye itu dengan mudah bisa dilupakan selain oleh waktu juga karena ‘ditumpuki’ sesuatu yang baru. Tidak mudah mengelola hal tipu-menipu ini dalam politik. Menggantungkan harapan pada hadirnya ‘orang-baik’ yang tidak akan menipu akan sangat rapuh jadinya. Maka memang harus ‘dipaksa’: hasrat vs hasrat, dan itulah fungsi oposisi. Partai oposisi khususnya, dan juga masyarakat sipil dengan pers bebasnya, media-media sosialnya, masyarakat akademiknya, kelompok-kelompok sukarela, dan lainnya dalam fungsi check and balances-nya.

Fungsi oposisi dan segala kelompok kepentingan dalam check and balances itu pertama-tama adalah memang untuk mengandangi si-Disney untuk tetap sebagai Disneyland saja, tidak nldèwèr-melebar menjadi Republik Disney. Tidak sedikit biaya yang dikelola oleh manajemen Disneyland supaya tetap menarik para pengunjung, apalagi jika itu ndlèwèr menjadi Republik Disney dengan bintang utamanya si-Pinokio itu. Berapa biaya yang harus ditanggung demi si-Pinokio? Berapa uang pajak menguap demi si-Pinokio? Berapa biaya-biaya sosial yang harus ditanggung hidup bersama demi si-Pinokio itu? Belum lagi dalam Republik Disney bukanlah pengunjung yang berpesta-pora, tetapi para pembajak-pembajak seperti sudah disinggung di atas. Berapa uang pajak telah di-embat para pembajak itu? Belum lagi bermacam harapan yang terus saja mengkerut. *** (22-02-2021)

Republik Disney