www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-02-2021

Dalam satu tayangan film dokumenter di DW TV, digambarkan bagaimana Amerika adalah juga surga dari para ‘guru’. Yang dimaksud dengan ‘guru’ di sini adalah misal, para motivator sampai dengan pemimpin-pemimpin bermacam sekte, baik berlatar belakang agama maupun lain-lainnya. Artinya, adanya bermacam guru itu, baik dari yang modal ngibul sampai dengan memakai argumentasi sains ‘super-ketat’, dimungkinkan laris-manis karena prakondisi sosial-nya memang ada, demikian bisa disimpulkan. Bahkan juga dengan kelonggaran hukumnya, bisa dikatakan secara politis-pun seakan ‘terdukung’. Belum lagi prakondisi teknisnya, dari bermacam bentuk media sampai dengan jaringan ‘bisnis’-nya. Lihat misalnya, satu diantara buku-buku Kevin Phillips itu berjudul American Theocracy –tidak ada asap tanpa api tentunya. Maka tidak mengherankan, model kayak Donald Trump itu bisa bermetamorfosis menjadi Trumpisme.

Dalam bayang-bayang kondisi yang digambarkan Antonio Negri dan Michael Hardt dalam bukunya Empire (2000), Trumpisme bisa dikatakan sebagai terjemahan paling jorok dari Empire itu. Tidak hanya karena penghayatan soal Empire itu terasa begitu jadoel-nya, tetapi juga karena tanpa sungkan menempatkan novel-nya George Orwell 1984 itu sebagai basis taktik-strateginya. Maka banyak pihak yang kemudian merasakan sebagai jorok dan rusuh-kumuh. Lihat bahkan banyak yang sudah merasakan pula bagaimana kemungkinan munculnya ‘dinasti Trump’, yang bahkan seorang Melanie Trump-pun dibayangkan mempunyai potensi memimpin AS. Sebuah kegilaan ‘ideologi –dalam hal ini: Trumpisme’, yang sudah tanpa malu-malu lagi menelikung soal meritokrasi. Tentu tidak seorang-pun sebelum lahir akan berupaya keras dilahirkan sebagai Kennedy, Bush, atau Trump, tetapi soal merit: soal menjadi pantas karena prestasi-kemampuan, semua mempunyai kesempatan sama untuk berupaya keras, bahkan jika itu bermarga Kennedy, Bush, atau Trump. Dan karena itulah soal meritokrasi-kemampuan, kompetensi semestinya ada di depan, entah itu anak siapa. Bukannya dibalik.

Sebagai negara super-power, Trumpisme sangat mungkin menjadi patron tidak hanya di AS saja, tetapi juga di belahan dunia lain. Lihat bagaimana soal radikalisme itu kemudian tidak hanya soal berlatar-belakang agama (sungguhan) saja, tetapi juga bisa berasal dari ‘agama sekuler’: para nasionalis-cupet itu. Tentu situasi ini tidak hanya berpangkal dari Trumpisme saja, tetapi bukannya tidak mungkin juga Trumpisme itu bisa ikut memberikan dorongan yang signifikan. Lihat juga misalnya, bagaimana kelompok Proud Boys kemudian merasa nyaman bersama Trumpisme itu. “In a Nov. 8 post in a private channel of the messaging app Telegram, the group urged its followers to attend protests against an election that it said had been fraudulently stolen from Mr. Trump. “Hail Emperor Trump,” the Proud Boys wrote”, demikian ditulis New York Times.[1] Meski mereka –Proud Boys, kemudian mengkritik Trump yang menurutnya terus ‘melemah’ setelah Biden pasti dilantik, bukan berarti mereka terus bubar jalan.

Benarkah Trump kemudian melemah setelah Biden dilantik? Pada pidato perpisahan Trump mengatakan bahwa perginya dari Gedung Putih justru merupakan awal dari gerakannya. Apalagi impeachment terhadap dirinya gagal di tingkat Senat. Dan Biden-pun paham bahwa gagalnya impeachment itu bisa jadi akan nyrimpeti di kemudian hari. Digambarkannya bahwa gagalnya impeachment di tingkat Senat itu membuat semua harus tetap sadar betapa rapuhnya sebuah demokrasi itu, dan untuk itulah demokrasi harus terus-menerus dibela.

Jika melihat pengaruh Trumpisme ini telah melewati batas-batas AS, ngototnya Trump dengan berujar ‘gerakannya baru saja dimulai’ maka itu berarti pula bahwa panas-dinginnya di tempat dimana para klien-nya bertebaran juga akan tetap ‘membara’. Tentu ada yang kemudian ‘selinthutan’, mlipar-mlipir dengan kemudian pasang aksi sok demokratis mendekati gaya Biden atau Partai Demokratnya AS sono, tetapi bayangkan jika 2024 nanti Trump maju lagi. Maka bagi para kliennya Trumpisme itu, penting untuk ‘mengulur-ulur’ sampai mendekati 2024 itu. Siapa tahu sang-patron kembali ketampuk puncak kekuasaan. Bagaimanapun, Trumpisme itu menjadi berkekuatan karena Trump tidak hanya omong doang. Omongan Trump bisa-bisa atau boleh-boleh saja ‘pating pecothot’ –semau-maunya, ngibul-sana-ngibul sini bahkan kadang serasa anti-sains, tetapi kebijakan dan perilakunya konsisten dengan pandangan dasarnya, terutama pandangan dasar dari Partai Republik. Hanya saja masalahnya, memang Trump lebih ugal-ugalan abis. Dan karena ugal-ugalannya itulah mengapa sampai ada anggota Senat dari Partai Republik yang ‘membelot’ dan mendukung impeachment, meski akhirnya impeachment itu kandas karena tidak mencapai dua-per-tiga suara.[2] *** (17-02-2021)

 

[1] https://www.nytimes.com/2021/

01/20/technology/proud-boys-trump.html

[2] Judul tulisan memang Trumpisme dan Marhaenisme, hanya saja soal Marhaenisme penulis kesulitan untuk menulis dengan greget karena nantinya itu hanya akan ditulis melalui jalan kutip sana kutip sini saja dari tulisannya si-Bung. Tidak atau belum ada contoh kongkret untuk bisa menggambarkan sebagai sebuah ideologi kongkret ada. Ideologi yang mestinya bisa dirasakan kehadirannya melalui bermacam keputusan politik serta perilaku para pendukungnya. Terutama para ‘pengawal revolusi’-nya itu. Ataukah, meminjam juga dari si-Bung, memang sudah menjadi ‘ideologi’ kenang-kenangan saja?

 

Trumpisme dan Marhaenisme