www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-02-2021

“Lupakan Si-Bung!” demikian sebenarnya rencana judul tulisan. Tetapi setelah ditimbang-timbang, sebaiknya janganlah. Dari pada nanti pagi-pagi tiba-tiba disambangi para sahabat dan diajak ke Blitar untuk menginap 7 hari 7 malam di cungkupnya si Bung, repot nantinya. Selain butuh stamina prima, masa-masa pandemi ini tentu harus ekstra hati-hati. Tambah repot. Tentu jika judul tetap Lupakan Si-Bung bukan berarti pula terus berupa ajakan untuk mengubur dan melupakan si Bung. Jelas tidaklah. Masalahnya adalah, sihir si Bung itu ternyata di banyak hal justru menumpulkan. Si Bung justru kemudian menumpulkan karena sihirnya yang begitu kuatnya, dan sekaligus para ‘penerus’ yang begitu lemahnya. Kuatnya sihir si Bung adalah hal tak terhindarkan, tetapi lemahnya para ‘penerus’ (semestinya) adalah hal bisa dihindarkan.

Akhirnya judul diganti dengan Marhaen, dan dimaksudkan sebagai ajakan untuk back to the things themselves. Si-Bung memang tidak dilupakan, tetapi ‘ditunda’ dulu, terutama sihir-sihirnya. Jika sihir si-Bung ditunda dulu, maka melihat si Bung memang semestinya akan segera nampak si Marhaen itu. Marhaen dengan segala problematikanya, soal keberesan rejeki dan keberesan politik. Jika telisik terus dilanjutkan maka bisa akan lebih nampak soal keprimeran politikal, artinya soal keberesan rejeki itu sebenarnya akan lebih dicapai jika keberesan politik menemui jalan terangnya. Jika soal politik tidak lepas dari soal kuasa, maka soal kuasa itu pertama-tama adalah untuk keberesan rejeki kaum Marhaen, melalui kebijakan dan perilaku pemegang kuasanya.

Sebagian besar kaum Marhaen memang seperti lagunya Iwan Fals itu, (hanya) mimpi yang terbeli (Album 1910, 1988). Maka soal sihir si-Bung ini bisa menjadi krusial, jika tidak hati-hati memang akhirnya sungguh akan menyihir. Lihat bahkan air cucian kaki si-‘penerus’-pun akan diminumnya. Salahkah Kang Marhaen itu? Tidaklah, sama sekali tidak. Dunia yang dihayatinya memang memungkinkan untuk itu. Yang sungguh salah adalah si-empunya kaki itu, karena sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk mendidik pengikut-pengikutnya. Bukan justru menikmati peristiwa itu. Tetapi masalahnya kuasa –will to power, memang begitu menggoda, dan peristiwa itu adalah sebuah peristiwa relasi kuasa: sekali lagi, siapa yang tidak akan menikmatinya? Maka benar juga Mangunwijaya, kualitas suatu bangsa (juga komunitas) bisa dilihat dari bagaimana ia mengelola kuasa.

Jika back to the things themselves-nya si Bung adalah Kang Marhaen, dan itu adalah soal keberesan rejeki yang terutama akan terdukung melalui jalan keberesan politik, maka titik berangkatnya adalah soal relasi-relasi produksi kongkret yang melingkupi Kang Marhaen. Dari bagian akhir abad 19 sampai dengan bagian awal abad 21 ini begitu banyak peristiwa yang sungguh bisa memberikan pelajaran berharga soal dinamika ‘bangunan bawah’ ini. Pelajaran bagaimana sebuah ‘spektrum individualis-kolektivis’ yang juga telah secara telanjang menampakkan masing-masing ujungnya. Rentang bermacam kemungkinan itu seakan sudah terhampar di depan mata. Romantika dengan besarnya energi dalam kandungannya, seakan mempunyai kesempatan besar untuk menghidupi dinamika dan dialektikanya.

Dalam sebuah republik di seberang jembatan emas, dinamika dan dialektikanya itu adalah terutama melalui partai politik. Keberesan politik dibangun melalui jalan partai politik dengan ujung adalah kebijakan-kebijakan politik yang berpihak pada potensi ‘membesarnya’ rejeki Kang Marhaen. Bukan ‘keberesan-bagi-bagi-rejeki’ model CSR yang itu rejeki dibagikan menjelang pemilihan saja. Dan semestinya itulah tujuan akhir jika itu adalah Partai Marhaen, yaitu pertama-tama adalah soal keberesan rejekinya Kang Marhaen –dinamika dan dialektikanya rejeki Kang Marhaen. Adakah partai semacam itu? Ataukah Kang Marhaen hanya bagian dari romantika saja, dan sihir si Bung (yang kemudian dieksploitasi dan berhenti di situ saja) justru membuat ‘Partai Marhaen’ itu bak candu saja bagi Kang Marhaen? Tidak jauh-jauh amat dari candu-romantikanya ‘radikalisme’ itu. Lalu apa bedanya jika sama-sama ada di ‘ranah sihir’? *** (15-02-2021)

Marhaen, Marhaen, Marhaen