www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-12-2020

Long Live Shame! Demikian ‘slogan kecil’-nya Ben Anderson, ditulis ketika ia menulis soal nasionalisme, 20 tahun silam.[i] Tulisan yang sebenarnya bahan presentasi di ulang tahun ke 28 majalah Tempo, 4 Maret 1999. Dan saat itulah kehadiran (lagi) Ben Anderson ke Indonesia terhitung sejak 1972. Mengapa Ben Anderson membuat slogan kecil seperti itu? Karena menurut Ben, “no one can be true nationalist who is incapable of feeling ‘ashamed’ if his or her state/government commits crimes, including those against his or her fellow citizens”.[ii]

Keluarga Bush di AS sana sering dikait-kaitkan dengan dinasti politik. Tapi nampaknya masih ada rasa sungkan juga. George Bush Sr. menjadi wakil presidennya Ronald Reagen antara tahun 1981-1989, dua kali masa jabatan. Sebelumnya, ayah Bush Sr. juga adalah seorang senator. Bush Sr. sendiri kemudian menjadi presiden di tahun 1989-1993. Bush Jr. yang menjadi Presiden AS 2001-2009, sebelumnya ia menang pemilihan Gubernur Texas untuk masa jabatan tahun 1995-2000. Mengalahkan si-singa panggung petahana dari Partai Demokrat, Ann Richards melalui strategi jitu dari konsultan politiknya, Karl Rove. Keponakannya di tahun 1994 juga pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Florida, tetapi gagal. Baru di tahun 1998 ia berhasil setelah mencalonkan diri lagi. Sungkan seperti ditulis di atas mungkin ketika dihadapkan pada potensi abuse of power atau abuse of authority. Bush Jr. maupun keponakannya baru maju mencalonkan diri jabatan gubernur setelah Bush Sr. lengser dari kursi kepresidenan.

Apakah ketika seorang jadi presiden di AS sana kemudian ada larangan anggota keluarga lain tidak boleh mencalonkan diri di jabatan eksekutif? Terus terang penulis tidak tahu, dan mungkin tidak ada. Tetapi mungkin untuk lebih membedakan dengan monarki, oligarki dan sejenisnya, ada nuansa tidak tertulis itu sebaiknya dihindarkan. Terutama ranah eksekutif, toh soal legilatif konon di rejim monarki belumlah ada. Apalagi kalau dirunut dari sejarah berdirinya, AS adalah ‘kontra-monarki’. Maka jika berandai-andai, bisa saja mungkin selagi Bush senior menjabat sebagai presiden kemudian Bush Jr. mencalonkan diri sebagai Gubernur Texas, misalnya. Tetapi toh itu tidak terjadi di ‘dinasti politik’ itu. Meski bisa saja ketika itu terjadi Bush Sr. akan menyatakan dengan penuh semangat bahwa ia tidak ikut-ikutan. Hanya masalahnya, itu bukanlah sekedar kata dilempar. Atau sekedar masalah janji untuk tidak ikut-ikutan sudah dinyatakan. Ada ‘bahasa tubuh’ –body language, di situ. Dan justru melalui bahasa tubuh ini menurut Albert Mehrabian, segala pesan sebagian besar ditangkap. Bahkan pengaruh isi pesan baru penting setelah bermacam intonasi, atau katakanlah cara bicara yang mengiringinya.

Maka imajinasi akan abuse of power itu akan lebih dihayati khalayak melalui bahasa tubuh. Fakta bahwa Bush Jr. adalah anak dari Bush Sr. akan selalu lekat dengan segala gerak tubuh Bush Sr. bahkan saat ia mengatakan bahwa ia tidak ikut-ikutan, misalnya. Termasuk ketika mulut bergerak untuk ber-pernyataan. Jika pentingnya bahasa tubuh ini diingkari karena sudah dikatakan begini-begitu, maka yang kemudian terjadi adalah sebuah pembiasaan, habitualisasi. Seakan diterima sebagai yang normal-normal saja. Bahkan termasuk bayang-bayang yang lekat dengan peristiwa itu, dengan segala horisonnya, yaitu abuse of power itu. Coba kita mundur ke belakang, betapa dahsyatnya pada saatnya pengaruh bahasa tubuh ‘masuk got’ itu, misalnya.

Maka cerita selanjutnya adalah, sense of urgency terkait dengan batas dari power itu akan semakin kabur. Apalagi jika Bush Jr. maju saat Bush Sr. jadi presiden itu memerlukan ‘penyamaran’ sehingga tidak terlalu nampak ‘nganeh-aneh’-i. Maka bisa-bisa anak dari Dan Quayle wakil presidennya saat itu, disuruh nyalon juga. Juga kalau bisa anak-anak dari menteri-menterinya. Meski ketika gelaran pemilihan dilaksanakan dipermalukan dengan kekalahan telaknya, misalnya. Karena ‘tugas-mencuci-yang-nganeh-aneh-i’ itu telah selesai. Tetapi yang mau dikatakan di sini adalah soal potensi abuse of power dari peristiwa ‘nganeh-aneh’-i itu. Yang sudah ditunjukkan di atas, yang mana ‘pesan tersembunyi’ itu lebih tersampaikan melalui ‘bahasa tubuh’. Dan lebih penting lagi, ‘efek-kupu-kupu’-nya yang merangkak melalui modus pembiasaan. Di mana kemudian orang dalam bermacam tingkatannya menjadi (lebih) tidak sungkan-sungkan lagi untuk melakukan abuse of power. Lha pemimpin tertinggi kelakuannya seperti itu, kok. *** (10-12-2020)

 

[i] Benedict Anderson, Nationalism Today and in the Future, Jurnal Indonesia no 67, April 1999

[ii] https://www.pergerakankebangsaan.

com/465-Long-Live-Shame/

Long Live Shame!!