www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-12-2020

Politik menjadi ada karena adanya pembedaan antara kawan dan lawan, demikian menurut Carl Schmitt. Dalam satu komunitas, bagaimana jika politik yang ada karena adanya pembedaan antara kawan dan lawan ini menjadi tidak terus menghancurkan komunitas? Dan bukan sekedar ‘tesis-antitesis-sintesis’? ‘Tesis-antitesis’ yang berujung glenikan dengan angan-sintesis everybody happy? Tetapi ‘tesis-antitesis’ dan terus merangkak menuju lebih baik? ‘Kematian’ yang terus membayang karena selalu ada dalam ‘ancaman’ pihak lain. ‘Kematian’ yang semestinya bukanlah ‘kematian komunitas’. Meski jelas bukanlah sekedar soal ‘komunitas harga mati’ atau sekitarnya.

Tetapi politik juga bukankah entitas melayang-layang dan tiba-tiba saja mendarat hanya ketika pemilihan digelar. Bisakah kita bicara politik tanpa membicarakan masalah bagaimana orang akan menghidupi dirinya, dan keluarganya, misalnya? Tanpa membicarakan bagaimana cara memproduksi prasyarat-prasyarat bagi kelangsungan hidupnya? Kata orang dulu, politik adalah salah satu yang begitu dipengaruhi oleh bagaimana berkembangnya cara produksi saat itu. Bagaimana jika cara produksi itu pekat dengan warna yang disebut oleh Schumpeter sebagai ‘creative destruction’? Yang mana bagi sementara pihak, sadar atau tidak, bisa membuat begitu sebalnya terhadap Donald Trump yang ngèyèl tidak mau mengakui kekalahan dalam pemilihan dengan tanpa bukti-bukti kuat. Kalau bukti-buktinya kuat mungkin justru akan didukung banyak pihak, tetapi masalahnya Trump grudak-gruduk-njeplak dulu tanpa diiringi dengan bukti akurat.

Yang sebal dengan tingkah Trump itu mungkin merasakan bahwa jika gaya-grudak-gruduk-njeplak-dulu model Trump itu dituruti dalam gelaran pemilihan maka justru itu akan mematikan kreatifitas yang telah membuat maju AS selama lebih dari 200 tahun sejak merdeka. Dan memang, hasil sebuah kreatifitas, A misalnya, bisa-bisa pada titik tertentu ia akan dikalahkan, dihancurkan oleh hasil kreatifitas dan inovasi pihak lain. Supaya tidak ‘tenggelam’ kreatifitas dan inovasi harus selalu ‘terjaga’. Maka gaya produksi model ‘creative destruction’ itu mestinya juga akan ‘melahirkan’ gaya politik yang sungguh dimungkinkan untuk kalah. Mengingkari kemungkinan kalah dalam ‘permainan’ yang fair, langsung atau tidak langsung akan bisa mempengaruhi ‘gaya produksi’ yang sudah berlangsung lama itu.

Tetapi politik mestinya tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana cara produksi itu berkembang. Meski pengaruh tidaklah sekuat dibanding dengan pengaruh bagaimana cara produksi itu berkembang, angan-imajinasi-cita-cita bisa juga terlibat dalam dinamika politik. Tak heran jika ‘minoritas kreatif’ dari arah ini biasanya akan mempunyai jiwa patriotisme yang kuat. Yang sayangnya, bisa saja ‘kebablasan’ atau digerogoti oleh kaum oportunis di sekitarnya. Dua ‘arah’ yang tergambarkan di atas nampaknya tidak jauh dari gambaran Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944) dengan istilah double movement. Meski sebenarnya gerakan satunya itu dipicu oleh ‘kekalahan / kehancuran’ dari kreatifitas pihak lain. Dan bisa kita lihat dalam sejarah, meski tidak sekuat pengaruh dibanding bagaimana cara produksi berkembang, angan-imajinasi-cita-cita dengan caranya yang khas ia ternyata bisa mengubah jalannya sejarah. Bahkan pada titik ekstremnya kemudian membelah dunia menjadi dua yang saling mengintip untuk saling menghancurkan. Satu tetap mempertahankan ‘creative destruction’ itu di tangan individu-individu bebas, yang lainnya secara kolektif.

Bagaimana jika cara produksi itu lebih pekat pada gaya ‘pemburuan rente’? Rent seeking activities? Dunia politik apa yang bisa digambarkan? Dan juga panas-dinginnya? Para ‘pemburu rente’ yang jelas bukan seorang patriot itu? Tetapi lebih merasa sebagai kaum bangsawan dengan ‘tanah-tanah perdikannya’, atau jelasnya: ‘lapak-lapak’-nya itu? *** (03-12-2020)

Politik dan Patriotisme