www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-11-2020

Propaganda atau apapun mau disebut, sudah ada jauh-jauh sebelum adanya media sosial seperti sekarang ini. Yang membedakan mungkin intensitasnya, jangkauannya, kecepatannya, dan juga penetrasinya di ruang-ruang privat. Sejarah telah menunjukkan bagaimana kekuatan propaganda itu dalam bermacam peristiwa. Tetapi perkembangan komunikasi tidaklah kemudian dimonopoli hanya untuk propaganda saja. Terlalu banyak untuk disebut bagaimana perkembangan komunikasi sungguh berperan dalam ikut mengembangkan peradaban manusia. Bagaimana perkembangan teknologi komunikasi sangat berperan dalam menguak lapis-demi-lapis apa-apa yang menyelimuti kebenaran. Meski ia dihadapkan pada situasi ‘post-truth’ juga misalnya, tetapi toh ia tidak dapat dicegah juga untuk terlibat dalam bermacam ‘kebenaran’ yang terserak dimana-mana. Kebangkitan Nasional yang selalu kita peringati 20 Mei itu juga tidak akan lepas dari kemajuan teknologi komunikasi yang masuk ke nusantara dalam bermacam jalannya. Mungkin saja penjajah dimanapun juga respon terhadap bermacam ‘kebangkitan’ akan tak jauh berbeda, dan berkata pada tokoh-tokoh pergerakan / kebangkitan serta khalayak pada umumnya: jangan termakan propaganda! Bahkan ketika era digital seperti sekarang ini belum terbayang sama sekali.

Pandemi COVID-19 sekarang ini merebak di tengah-tengah ‘berkecamuknya’ perkembangan teknologi komunikasi. Jika kita mau membanding-bandingkan apa yang terjadi di banyak komunitas dalam membangun respon melawan pandemi ini, maka segera nampak bagaimana komunikasi memegang peran pentingnya. Sebab dari komunikasi itu sekaligus juga khalayak akan ‘belajar-cepat’ soal virus. Paling tidak bagaimana harus melindungi diri, atau juga ikut melindungi orang-orang terdekatnya. Tidak hanya ‘belajar cepat’ soal tantangannya (pandemi) tetapi juga dalam hal memahami apa-apa yang sedang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin mereka. Lebih cepat paham apakah pemimpinnya itu bisa dipercaya atau tidak, cukup kredibel atau tidak sebagai yang terdepan dalam merespon tantangan pandemi.

Dari pengalaman bermacam komunitas, kepemimpinan yang berhasil dalam menghadapi pandemi ini salah satunya karena ia tidak pernah ‘under-estimate’, baik terhadap virus-nya maupun khalayak yang dipimpinnya. Tentu sangat beragam khalayak itu, baik dalam kemampuan finansial maupun cara berpikir. Namun ketika kematian itu membayang di depan mata, dan cukup waktu untuk melihat mendekatnya kematian, maka kemampuan berpikirpun sebenarnya bisa seakan-akan di-booster. Minimal, harapan pada sang-minoritas kreatif-pun akan semakin membesar. Terlebih dalam komunitas dengan power-distance tinggi. Lihat pengalaman di Taiwan dan Vietnam, misalnya. Power-distance yang tinggi itu ‘diubah’ menjadi ‘modal sosial’ dan betul-betul didaya-gunakan semaksimal mungkin dengan melakukan langkah-langkah kongkret yang sungguh memang dapat dipercaya.

Tentu mereka warga Taiwan dan Vietnam itu juga tidak luput dari berserakannya segala disinformasi, segala hoax, atau bahkan propaganda-propaganda tertentu tentang pandemi COVID-19 ini. Tidak terhindarkan. Maka masalahnya bukanlah adanya propaganda itu atau tidak, tetapi adalah soal kepercayaan, soal trust antara pemimpin dan yang dipimpinnya. Saling percaya dengan pertama-tama saling menghargai, tidak under-estimate. Maka goyang tik-tok-pun tidak akan muncul di jajaran pemimpin di komunitas-komunitas yang berhasil dalam mengendalikan pandemi ini.  Atau kata-kata ‘merendahkan’ kemampuan si-virus. Atau bahkan licik-licikan mengambil kesempatan dalam kesempitan di tengah-tengah kegundahan merebaknya pandemi. Dan konyolnya lagi di ujung, kembali under-estimate terhadap khalayak yang dipimpinnya. Jangan mudah termakan propaganda, katanya. Padahal masalah utamanya pertama-tama adalah, apakah dia bisa dipercaya atau tidak.

Dan masalah bisa dipercaya atau tidak, bukan lagi semata urusan ‘dunia atas’: sok ideologis, sok omong ini-itu, bayar-bayar buzzer, kirim-kirim karangan bunga. Pengalaman hampir 10 tahun terakhir terlalu banyak ‘dunia atas’ itu ternyata sudah lebih sebagai ‘camera obscura’ saja. Juga lebih sebagai tirai asap untuk menutupi realitas senyatanya. Sok pro-rakyatlah, sok pro-wong-ciliklah. Sok selfa-selfi di daerah bencana. Ujungnya ya ngibul sana-ngibul sini doang. Dunia digital mau diawasi atau dipatroli dengan apapun jika realitas yang dihayati oleh khalayak memang sudah berkesimpulan: tidak bisa dipercaya, terus mau apa? Main buzzer terus? Main media partisan? Main sogok? Main kayu? Pokrol bambu? Atau belah sana belah sini? Balkanisasi? *** (24-11-2020)

Di Tengah-tengah Propaganda