www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-11-2020

Republik Macam Apa Yang Kami Miliki? Demikian postingan lebih dari dua tahun lalu.[1] Tulisan yang ‘diprovokasi’ buku Simon Saragih, Bangkitnya Rusia (Penerbit Buku Kompas, 2008). Dimana dalam salah satu tulisan Saragih mengutip kegundahan seorang warga Rusia terhadap kondisi negaranya di periode ke-dua Yeltsin, yang muncul di Washington Post (30 Agustus 1998): “Republik macam apa yang kami miliki?” Padahal di tahun-tahun itu belum mungkinlah ada Yesmev (Yeltsin Social Media Volunteers) karena sosial media yang kita kenal seperti sekarang ini terbayangkan saja mungkin tidak. Coba jika sudah ada, bisa-bisa “republik macam apa yang kami miliki” itu bukan lagi sebuah lontaran kegundahan saja, tetapi kegeraman. Kejengkelan yang memuncak ketika buzzer-buzzer bayaran itu mengacak-ngacak hidup bersama. Dis-informasi, adu sana-adu sini, hina sana hina sini, dan ujungnya adalah terbelahnya khalayak. Habis-habisan diobok-obok.

Menurut Laski, karakter suatu negara hanya bisa dihayati khalayak melalui karakter pemerintahannya. Tidak lainnya. Bukan dari sangar-nya lambang negaranya, atau megahnya derap lagu kebangsaan, atau besar-megahnya ibukota. Persis seperti yang digambarkan dalam Pembukaan UUD 1945, alinea 4. Negara yang mempunyai karakter (1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia itu pastilah akan melibatkan ‘pemerintah negara Indonesia’. Mari kita baca lagi pelan-pelan. Atau lihat apa yang dikatakan oleh seorang demonstaran di Perancis sana (TV France24) ketika ada demonstrasi soal kepolisian. Mengapa ia ikut demo, tanya reporter. Karena (menurutnya) apapun yang dilakukan oleh kepolisian adalah juga akan menggambarkan apa dan bagaimana negaranya. Dan ia tidak mau Perancis tergambarkan sebagai yang brutal karena ulah dari aparat.

Maka kegundahan warga Rusia seperti di awal tulisan ”republik macam apa yang kami miliki” itu adalah kegundahan akan tingkah-polah pemerintahannya, dalam hal ini Yeltsin dan jajarannya. Inilah mengapa ‘mawas diri’ itu penting. Dan karena ini ranah ‘kratos’, demos-kratos, mawas diri yang bisa saja berujung pada ‘perpindahan kekuasaan’ itu haruslah juga dimungkinkan. Itulah mengapa Donal Trump semakin menjadi tokoh yang menyebalkan bagi banyak warga AS sana karena seakan ia tidak mau adanya perpindahan kekuasaan secara damai, melalui jalan demos-kratos itu. mengingkari adanya kemungkinan perpindahan kekuasaan itu jelas secara esensial mengingkari adanya demokrasi itu sendiri.

Desakan pada Yeltsin untuk mundur dari jabatan tidak melalui ‘jalan pemilihan’ tentulah masih dalam koridor demos-kratos itu. Mawas diri yang berujung pada keinginan sebuah perpindahan kekuasaan. Masalahnya, bagaimana jika ternyata negara dalam genggaman kaum sontoloyo? Ciri mendasar ‘kaum sontoloyo’ itu adalah pada pandangan soal hukum, yaitu hukum adalah masalah siapa yang berkuasa. Semestinya hukumlah alat utama negara dalam melindungi warganya, termasuk disini harta-kekayaan yang berhasil dikumpulkannya. Tetapi seperti ditunjukkan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan, bisa saja diyakini bukan hukum, tetapi kuasa. Maka ia akan menumpuk kuasa dan kuasa, dan kuasa, sampai ajal menjemput demi melindungi apa yang telah diperolehnya. Terlebih jika apa-apa yang diperolehnya itu banyak yang berasal dari ‘pasar-gelap’, apapun bentuknya itu.

Maka sebenarnya jika satu komunitas menemui dan merasakan bahwa hukum seakan terlalu sering dipermainkan dan orang-orang yang terlibat dalam penegakan hukum itu banyak yang kualitas KW, kualitas medioker, maka sangat mungkin adanya paradigma hukum adalah 'masalah siapa yang berkuasa' mungkin sedang dominan. Dan ujungnya adalah kuasa akan menjadi at all cost untuk dipertahankan. Cerita selanjutnya mudah ditebak, karena perpindahan kuasa seakan sedang menuju ke-nihil-annya, demokrasi-pun akan compang camping. Bahkan sekarat.

Dan apa yang dikatakan Edward Rutledge kepada John Jay di awal-awal kemerdekaan AS bisa-bisa kan menemui fakta potensialnya: “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the rulling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must supress a little of that popular spirit.” Jelas patriotisme ini adalah soal kecintaan pada si-demos, pada hidup bersama. Dan tentu tidak usahlah diplesetkan pada satu bentuk chauvinisme, meski itu juga dimungkinkan. Apa yang terjadi pada Yeltsin adalah bagaimana khalayak menghayati bukan lagi kecintaan pada si-demos yang berkembang, tetapi terutama pada ugal-ugalannya kaum oligark, salah satunya ketika mereka kaum oligark itu merampok kekayaan negara melalui jalan privatisasi yang ugal-ugalan juga. Yang mungkin jika  itu ada di masa sekarang, semacam omnibus-law-pun akan dipaksa-paksakan juga. Maka apa yang di kemudian hari disebut David Harvey sebagai salah satu feature dari ‘accumulatin by dispossession’ itu tanpa sungkan sungguh telah berjalan dengan telanjangnya. Tentu banyak komunitas sungguh tidak ingin ber-supress a little of that popular spirit (demokrasi). Tetapi bagaimana jika kenyataannya kaum rascals itu memang sedang merajalela? *** (23-11-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/120-Republik-Macam-Apa-Yang-Kami-Miliki/, https://www.pergerakankebangsaan.

com/509-Republik-Macam-Apa-Yang-Kami-Miliki-2/

Republik Macam Apa Yang Kami Miliki ? (3)