www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-11-2020

Bagi kapitalisme, tidak hanya bencana bisa jadi peluang –disaster capitalism kata Naomi Klein, tetapi juga bermacam monster. Lihat dari ‘monster menggemaskan’ a la Pokemon sampai dengan yang menyeramkan, Godzilla misalnya. Dan orang tuapun rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menemani nonton film-filmnya. Belum boneka, mini-figure, atau komik-komiknya. Macam-macam, sampai yang model otak-atik Lego. Robot-robatannya. Atau pasar bagi para kolektornya. Bahkan bagi yang sudah tua-pun bisa-bisa tenggelam dalam keasyikan koleksinya. Yang dikumpulkan sejak ia anak-anak. Mungkin sebagian tidak hanya sebagai kolektor, tetapi bisa juga ketika pas dibutuhkan, koleksi monster langkanya ia keluarkan dan dipatok dengan harga tertentu. Mungkin komiknya juga. Cukup untuk menyambung hidup misalnya.

Bagaimana jika kedaulatan kemudian dihayati sebagai ‘koleksi’ saja? Toh misalnya, ‘kedaulatan-ku atas boneka monster langka’ itu juga terhayati sebagai koleksi, yang sangat mungkin untuk diperjual belikan. Entah kapan. Harga cocok, jadilah win-win-solution. Tentu kedaulatan dalam konteks hidup bersama sangat-sangat lebih kompleks dari pada ‘kedaulatan-ku atas boneka monster langka’ seperti dicontohkan di atas. Tetapi kata orang, politik adalah seni dari mbah-nya kemungkinan. Maka biar tidak ‘kecolongan’, bermacam kemungkinan itu perlulah disisir perlahan. Tidak usah alergi atau sejenisnya.

Masih ingat di tahun-tahun awal reformasi -jelas itu setelah peristiwa 11 September 2001, bahkan terorisme saja bisa jadi sebagai ‘jalan meraih keuntungan’. Ini lho ..., ada banyak teoris di sini, bantu dooong. Begitu kira-kira glècènan guyon di kafe. Dan ketika bantuan ratusan juta dollar itu datang, rayahan cuk. Tentu teror, teroris, terorisme itu adalah hal nyata, senyata juga misalnya dengan ‘monster-monster langka’ seperti dicontohkan di atas. Yang memilih ada di ujung sangat jauh pastilah selalu ada. Senyata juga adanya para ‘entrepreneur’ di bidang state exception. Dengan tinggi dan nekatnya kemampuan membangun narasi. Dan bukankah nilai dari koleksi langka itu separuhnya ditentukan oleh narasi-narasinya?

Sebagai entrepreneur di bidang state exception, maka harus jeli juga melihat konsumen. Kalau konsumen grudag-grudug pecicilan kayak Donald Trump misalnya, kadang dengan narasi atau dongeng-dongeng saja sudah cukup. Dongeng tentang potensi state exception yang akan mengganggu ‘hobi’-nya. Dengan dongeng saja maka dukungan sudah bisa diharapkan. Tetapi bagaimana jika konsumen utama itu lengser? Sebagai entrepreneur pasti ini harus diantisipasi. Bagaimana jika ‘konsumen baru’ itu lebih hati-hati, misalnya? Dan jika dongeng saja pasti belumlah cukup? Tetapi apapun itu, obrolan di kafe itu ujungnya tetap sama seperti sudah disinggung di atas: “Bantu dooong ....” Dan siap-siaplah ambil posisi untuk .... rayahan. Dasar preman, cuk. *** (18-11-2020)

Kapitalisme dan Monster-monsternya