www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-11-2020

Axis mundi adalah salah satu perangkat ‘soft-ware’ manusia yang hidup dalam ketidak-pastian alam. Alam yang serba chaos itu terbantukan dalam penghayatan kosmos melalui bermacam axis mundi yang diciptakan manusia. Sering mengambil bentuk tertentu di luar otak manusia, bermacam bentuknya. Dalam menelusuri bermacam jalan yang telah dilalui manusia, bermacam ‘imajinasi’ kategori atau rentang waktu kemudian dikenal. Salah satunya adalah perkembangan hidup yang pada rentang waktu itu warna kosmosentrisnya kuat, kemudian beralih pada teosentris, dan kemudian antroposentris. Berpusat pada semesta, pada yang serba Ilahi, dan kemudian berpusat pada manusia. Paling tidak ini dikenal dalam perjalanan manusia yang hidup di daerah Eropa sana. Maka the good-pun kemudian bermacam pula bentuk kehadirannya. ‘Yang baik’ dimana ia mampu ‘mengatasi’ kekacauan alam, dan dengannya manusiapun akan terbantukan dalam mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Tidak hanya itu, tetapi manusia kemudian akan hidup ‘disekitar’-nya.

Machiavelli (1469-1527) hidup di awal-awal pergeseran dari teosentris ke antroposentris di daratan Eropa sana. Di awal-awal pergeseran ‘kultur manuskrip’ ke ‘kultur cetak’. Guttenberg menemukan mesin cetak massal-nya di tahun 1450. Buku paling terkenal Machiavelli, The Prince, dicetak dan didistribusikan kira-kira 5 tahun setelah kematian Machiavelli. Buku Machiavelli itu segera saja masuk dalam ‘daftar hitam’ Gereja Katolik saat itu karena dianggap tidak sesuai dengan ‘doktrin resmi’ dalam hal politik. Apapun ‘kegelapan’ yang diusung Machiavelli, bagaimanapun Machiavelli berkontribusi besar dalam membeberkan kuasa yang ‘rasional’. Kuasa yang ‘dimainkan’ oleh si-animal rationale itu. Bungkus teosentris itu perlahan lapis-demi-lapis dikuak dan semakin nampak bagaimana hasrat manusia sebenarnya ‘bisa dikelola’ oleh manusia-manusia juga. Res-publika kemudian menjadi semakin dimungkinkan. Kecintaan akan hidup bersama menjadi semakin luas bisa ditumbuh-kembangkan. Patriotisme.

Harapan bisa diibaratkan sebagai ‘pulau kepastian’ ditengah-tengah gejolak ketidak-pastian samudera. Axis mundi bisa dihayati layaknya sebagai pulau tersebut, lekat dengan harapan di dalamnya. Sebagai hal yang dilekati dengan harapan dan berada di tengah-tengah gempuran gelombang ketidak-pastian, maka sewajarnyalah hal ‘baik’ pertama-tama harus melekat pada dirinya. ‘Baik’ yang dari waktu ke waktu akan juga berkembang sesuai dengan perkembangan yang menghayatinya, khalayak. Ketika res-publika itu semakin berkembang, memilih pemimpin kemudian menjadi urusan yang tidak hanya berhenti pada ‘simbol-simbol keagamaan’. Itulah mengapa ajaran-ajaran dari filsuf-filsuf Yunani kuno kemudian banyak dibuka lagi. Dibuka dan dihayati secara baru, renaissance, rebirth, reborn. Salah satunya adalah ajaran-ajaran dari kaum Stoa. Mungkin benar apa yang dikatakan Carl Schmitt dalam Political Theology di awal abad 20: “All significant concepts of the modern theory of the state are secularizaed theological concepts.

Konsekuensi dari pendapat Schmitt di atas, mestinya ada moralitas tertentu dalam diri pemimpin dalam ‘modern theory of the state’ di atas. Tentu tidak dilarang kemudian simbol-simbol agama dipakai, atau katakanlah Trump berfoto di depan gereja sambil membawa Bible, misalnya. Tetapi seperti yang ditunjukkan oleh warga AS, itu belumlah cukup. Atau bahkan di banyak negara, tanpa harus membawa-bawa simbol-simbol agama, hidup bersama mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang mak-nyus juga. Apa yang mau dikatakan di sini, seorang pemimpin tetaplah ia dituntut mempunyai keutamaan-keutamaan lebih dari yang dipimpinnya. Kalau pengikut dan pimpinannya sama-sama mempunyai paradigma asal njeplak, terus apa bedanya? Misalnya.

Machiavelli menumpuk harta seperti ada pada judul adalah peminjaman istilah dari B. Herry-Priyono (2009) yang merupakan ‘pengembangan bebas’ dari apa yang disebut Leo Strauss sebagai ‘Machiavelli yang menua’. ‘Menua’ ketika kemudian dilakukan perunutan dari Machiavelli (1469-1527) -Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704), dan dapat dilihat adanya pergeseran-pergeseran. Yang ketika Machiavelli mengatakan bahwa kuasa dikelola demi ‘kejayaan-kemuliaan’ raja dunia. Dan kemudian Thomas Hobbes ingin mengatakan untuk melanjutkan hidup, keluar dari ‘state of nature’ yang serba kelam dan chaos. Maka menurut Hobbes, perlu adanya kontrak-kontrak antar warga serta hadirnya si-Leviathan yang mengawasi kontrak-kontrak itu akan dilaksanakan. Sama-sama ingin keluar dari ‘state of nature’ sehingga kelangsungan hidup bisa berlangsung, Locke menekankan bahwa adanya kebebasan memperoleh uang-hartalah yang akan menjamin kelangsungan hidup itu. Uang dan harta akan memberikan kesempatan untuk membeli makan, pakaian, rumah, dan lain-lainnya. Negara pertama-tama adalah untuk memberikan rasa aman terhadap uang-harta yang berhasil dikumpulkan oleh masing-masing rakyatnya. Leviathan tidak diperlukan karena manusia itu pada dasarnya baik, siap bekerja sama satu dengan lainnya. “Ultra-minimal-leviathan’: hanya untuk mengamankan uang-harta saja. Pergeseran-pergeseran inilah yang dimaksudkan dengan Machiavelli yang menua, atau yang menumpuk harta.

Masalahnya adalah, dibalik sebagai ‘prasyarat’ yang memungkinkan kelangsungan hidup itu, uang-harta ternyata menyimpan potensi kuasa juga. Ia bahkan bisa berubah menjadi si-Leviathan Baru. Dengan segala konsekuensinya. Atau bagaimana jika bukan pergeseran, tapi ‘gabungan’. Banyak hal untuk memuliakan 'sang raja’. Banyak hal sang Leviathan menampakkan wajah aslinya. Dan sekaligus berdampingan atau bahkan berkolaborasi dengan si-Leviathan Baru? Jadilah Empire, kata Negri dan Hardt. *** (13-11-2020)

Machiavelli Menumpuk Harta