www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-10-2020

How does one man assert his power over another, Winston?” Winston thought. “By making him suffer,” he said. “Exactly. By making him suffer. Obedience is not enough.” (George Orwell, “1984”)

Novel George Orwell dengan judul 1984 terbit tahun 1949, sekitar 70 tahun lalu. Orwell membayangkan apa akan terjadi di tahun 1984. Novel tersebut disana-sini jika dibandingkan dengan situasi sekarang, ada banyak kesesuaiannya. Kutipan di atas seakan membayangi apa yang terjadi di republik. Tidak cukup hanya setia saja, tidak cukup hanya manut saja, tetapi perlu dibuat menderita juga.

Antonio Negri dan Michael Hardt dalam Empire (2000) mengintrodusir apa yang sudah disinggung Polybius lebih dari 2000 tahun lalu, yaitu soal mixed constitution. Atau kalau secara bebas kita membayangkan, campuran antara monarki dan demokrasi. Dalam praktek, kekuatan uang itu membangun kekuasaannya semakin mendekat pada satu bentuk monarki. Di luar itu, silahkan ber-demokrasi. Di luar para bangsawan, silahkan ber-demokrasi. Dalam praktek sebenarnya tidak jauh berbeda dengan monarki-monarki genuine jaman dulu, di luar kaum bangsawan adalah si-hamba. Si-hamba yang harus setia. Ditambah oleh Orwell, tidak hanya setia, tetapi juga harus menderita. Dan penderitaan apa yang paling benar-benar membuat seorang manusia sungguh menderita? Bagi sebagian besar orang, adalah ketika sama sekali tidak dianggap sebagai manusia.

Donald Trump selama hampir 4 tahun ini, dan semakin nampak dalam debat pertama melawan Joe Biden beberapa hari lalu, sedikit banyak ada dalam bayang-bayang logika Empire ini. Bagi yang ada dalam ‘badan monarki’ mereka akan mempunyai ‘bahasa’ sendiri, sedang ketika menghadapi si-demos yang merasa berdaulat dalam ‘badan demokrasi’, ada ‘newspeak’ yang berkembang: asal njeplak. Mengapa asal njeplak? Karena ia sedang bicara dengan suatu entitas yang tidak ada! Atau minimal, tidak dianggap.

Ketika Djakarta Operation dinilai berhasil dan kemudian dibuat sebagai kata sandi dalam penggulingan Allende di sekitar 1970-an, akankah ‘eksperimen’ asal njeplak ini kemudian berkembang sebagai prototipe yang akan ditawar-tawarkan di tempat lain? Atau menjadi tidak begitu mudahnya, yaitu ketika si-demos kemudian tidak diam saja, tidak pasrah menyongsong era 30 tahun kesunyian (lagi)? *** (04-10-2020)

Tidak Dianggap