www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-10-2020

Apakah realitas itu ada hanya jika kalau ada yang memikirkannya? Atau pikiran itu baru ada kalau ada realitas ‘yang memprovokasi’-nya? Atau apakah tingkah laku kita lebih ditentukan realitas sekitar, atau oleh harapan-harapan kita? Apakah ‘nasib’ tubuh kita itu sudah ditentukan oleh kode-kode genetik kita ataukah faktor lingkungan juga berpengaruh? Studi epigenetik di bagian akhir abad 20 memberikan horison baru tentang ‘nasib’ tubuh kita itu. Ternyata faktor lingkungan juga ikut mempengaruhi dinamika dunia kode-kode genetik itu. Dan ternyata itu bisa diturunkan! Nature atau nurture? Di satu pihak Abraham J. Heschel dalam Who is Man? (1963) menuliskan: “A theory about the stars never becomes a part of the being of the stars. A theory about man enters his consciousness, determines his self-understanding, and modifies his very existence.

Kita di republik ini mungkin tidak pernah yang ada dan secara langsung hidup di tengah-tengah massa dimana itu sedang berkumpul untuk mendengarkan gelegar pidato seorang Hitler. Mungkin satu-dua ekspatriat saja. Dan untunglah kita tidak ada di sana. Mungkinkah jika kita di sana dan mendengarkan gelegar seorang Hitler bicara soal ‘a theory about man’ versi dia, kita juga bisa menjadi seorang pelaku holocaust? Ketika evil menjadi begitu banal-nya? Jumlah manusia mati terbunuh karena ulah manusia pada abad 20 bisa dikatakan lebih banyak dibanding dengan keseluruhan abad-abad sebelumnya. Apapun penyebab saling bunuhnya. Seakan berbanding lurus dengan kemampuan manusia dalam hal produksi. Berbanding lurus dengan daya ungkit energi yang mampu dihasilkan.

Tetapi apakah Hitler yang dalam masanya menjadi ‘begitu berhasil’-nya semata karena kemampuan seorang Hitler? Kalau toh kita bisa meraba tali-temali konteks yang lebih luas, akankah kemudian menjadi benar apa yang dilakukan oleh seorang Hitler itu? Ketika Hannah Arendt melansir soal banality of evil terkait dengan aktor-aktor holocaust, banyak yang ‘protes’ terhadap analisa tersebut. Tetapi kita bisa melihat juga, apapun analisa terhadap kelamnya perang dunia tersebut yang mungkin saja kita tidak sepakat, satu hal yang kita bisa bersepakat, pembunuhan atas manusia lain tidaklah bisa dibenarkan. Bermacam kebrutalan abad-20 semestinya memberikan pelajaran bagi kita dalam membangun hidup bersama. Dan mengapa kita tidak berangkat dari yang bisa kita sepakati?

Apa yang bisa kita sepakati itu sebenarnya bisa menjadi titik dimana kita tahap-demi-tahap menggapai kemajuan bersama. Lihat bagaimana kesepakatan tentang bagaimana semestinya negara dikelola yang kemudian diotak-atik itu. Mengapa Pancasila harus diotak-atik menjadi trisila, dan kemudian ekasila? Mengapa tidak berangkat saja dari kesepakatan bersama yang kemudian ditulis dalam Pembukaan UUD 1945 itu? Berapa energi yang terbuang sia-sia? Siapa sih yang de facto mengambil keuntungan dari ribut-ribut soal ekasila ini? Dengan segala panas-dinginnya? Kang Marhaen? Enggak-lah.

Dalam sistem dua partai dominan, atau dua koalisi partai-partai dominan, sebagian besar pemilih ada di tengah. Dimana-mana penelitian menunjukkan hal tersebut. Yang memilih benar-benar atas dasar ‘ideologi’ dari si A atau si B jumlahnya biasanya lebih kecil dari ‘yang di tengah’, atau si-seksi yang diperebutkan itu. Tentu ‘yang di tengah’ itu ada juga yang setia pada si A atau si B meski pemahaman akan ‘ideologi’-nya tidaklah begitu ‘mendalam’. Kelompok ini jelas tetap masih bisa diperebutkan. Dengan berkembangnya sosial media seperti sekarang ini memang kemudian timbul pertanyaan, masihkah ‘yang di tengah’ itu sebesar dari masa-masa sebelumnya? Ini mungkin terkait dengan naiknya fanatisme melalui bombardir media sosial. Polarisasi yang menajam karena masifnya olah media sosial.

Mungkin sekali-kali kita mencoba melihat denyut sekitar sebagai pemula. Betul-betul sebagai pemula. Segala konsep ‘a theory about man’ yang beredar misalnya, kita tunda dulu. Tidak kita delete, tetapi kita tunda dulu. Kita coba dulu secara ‘pasif’ menerima apa-apa sekitar kita yang menampakkan dirinya. Kemudian kita coba lihat dari bermacam sisi, aspek, atau profilnya. Jika kita melihat bermacam kemiripan satu dengan lain, kita dekati lebih dalam lagi. Kita kembangkan imajinasi-imajinasi. Kita dialogkan imajinasi-imajinasi kita itu dengan ‘pemula-pemula’ lainnya. Dan siapa tahu ternyata hal-hal yang mendasar itu justru nampak ketika realitas ‘yang di tengah’ itu semakin terkuak. Yang mungkin esensinya adalah soal keberlangsungan hidup, soal keinginan mengembangkan hidup. Pertama-tama soal keberesan rejeki.

‘Menegara’ demikian Driyarkara menghayati soal bernegara. Menegara yang pondasinya adalah dialog. Dialog antar ‘pemula’ yang terusik atas realitas di kanan-kirinya. Dengan dialog horison bersama dimajukan. Tidak semua hal mesti disepakati atau diupayakan untuk disepakati dalam dialog. Bagaimana orang beribadah misalnya, sulit untuk dicapai kata sepakat. Kembali pada keyakinan masing-masing. Tetapi dasar dialog semestinya adalah realitas yang berkembang. Realitas kongkret yang dihadapi sebagian besar khalayak. Jika dalam hal tertentu dialog itu juga akan dilakukan oleh para politisi, mereka haruslah berakar. Mampu juga menghayati realitas yang dihadapi khalayak kebanyakan.

Dari masa lalu kita bisa melihat bagaimana kapitalisme itu tidak pernah lepas dari ‘siklus’ krisis. Ketika ia ada ‘di dasar’-nya, perlahan berhasil naik lagi karena ada satu-dua komoditas yang ‘booming’ dan menggeret lainnya, dan merangkak naiklah dinamika kapitalisme itu. Ini adalah sekedar ilustrasi. Tetapi ketika suatu komunitas sedang ada di ‘dasar kekelaman sejarah’, maka ia perlu juga satu-dua ‘kesepakatan’ yang dengannya perlahan naik keluar dari dari dasar kekelaman sejarah. Bukan mau melupakan apa-apa yang terjadi sepertihalnya kapitalisme yang tidak kapok-kapok dengan ‘siklus krisis’-nya, tetapi untuk meraba esensi dari sebuah peristiwa. Dengan itu hidup bersama dibangun lagi secara perlahan. Dan pada saatnya yang kita tunda seperti disebut di atas, karena tidak di-delete, perlahan kita buka lagi. Setelah yang esensi bisa kita raba dan hayati bersama. Tentu ini akan melibatkan trial and error, tetapi banyak komunitas yang berhasil melewati sejarah kelamnya dengan mampu meraba hal esensi itu. Hal yang tidak mungkin dilakukan jika soal ‘keberesan politik’ dan ‘keberesan rejeki’ maunya dikangkangi sendiri saja. Atau bersama teman-kelompoknya sendiri saja. Serakah. *** (02-10-2020)

Serakah Atas Bawah