www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-09-2020

Sebagai satu bentuk ‘organisasi’, republik disangga tiga kondisi yang menjadi pilar hidupnya, kondisi politis, sosial, dan teknis. Pada awalnya kondisi politis dimulai dengan pernyataan kemerdekaan dan pengakuan negara-negara lain akan kemerdekaan itu. Kondisi sosial, memang kemerdekaan itu didukung oleh manusia-manusia yang hidup dalam republik. Kondisi teknis masing remang-remang meski di atas kertas sudah ada gambarannya. Lebih dari 75 tahun kemudian semestinya tiga pilar kondisi tersebut mampu menyangga republik untuk membawa semakin dekat dengan cita-cita Proklamasi.

Dalam masa pandemi ini, tiga hal di atas menjadi sangat nampak perannya sebagai pilar dari sebuah negara dalam menghadapi wabah. Kondisi politis kemudian adalah soal legitimasi, kondisi sosial adalah bagaimana sikap khalayak terhadap keputusan-keputusan politik dan secara teknis-kongkret keputusan-keputusan itu dijalankan oleh aparatus negara dalam segala levelnya. Sikap yang berujung pada legitimasi dari khalayak itu adalah ‘umpan balik’ dari keputusan dan ‘tindakan-tindakan teknis’ dari pengelola negara. Maka tidaklah salah jika Ortega y Gasset menandaskan bahwa politik itu, di pusat gravitasinya adalah soal opini publik. Opini publik yang terutama ketika berhadapan dengan enemy, dalam konteks ‘yang politikal’-nya Carl Schmitt, politik itu ada karena ada pembedaan antara friends and enemies. Leo Strauss memberikan catatan soal friend and enemy distinction ini, dibandingkan dengan pendapat Thomas Hobbes. Menurutnya, Hobbes lebih melihat semua-lawan-semua, individu-lawan-individu, sedang Schmitt masih melihat kelompok-lawan-kelompok. Apapun itu, pandangan Strauss itu patut kita perhatikan bersama, terlebih seperti pernah ditulis Kuntowijoyo di awal-awal reformasi, soal mentalitas bangsa klien. Terlebih lagi jika itu ada di komunitas dengan power distance yang tinggi. Tetapi soal friend and enemy distinction ini, disekitar tahun-tahun Schmitt menulis soal itu, Oscar Raymundo Benavides Larrea, presiden Peru 1914-1915 (melalui kudeta) dan 1933-1939 berpendapat: “For my friends everything, for my enemies the law.” Suatu ungkapan yang nampaknya bisa juga jauh melampaui batas geografis dan waktu. Bahkan sampai sekarang di republik rasa-rasanya juga berlaku.

Mungkinkah bisa dilihat COVID-19 ini sebagai ‘musuh bersama’? Ataukah sebenarnya kita sedang mencari ‘pihak ketiga’ yang menyatukan langkah dalam menghadapi pandemi ini? Bagi Platon, persahabatan akan melibatkan ‘pihak ketiga’ yang menjadi perhatian mendalam dari pihak-pihak yang bersahabat. Dalam pandemi ini, semestinya selamatnya jiwa-jiwa dalam arti harafiah dapat menjadi ‘pihak ketiga’ yang menjadi kepedulian bersama. Khalayak-pun akan mudah menerima ‘logika’ ini. Namun dari pengalaman di berbagai tempat, nampaknya inipun ada batasnya. Yaitu ketika selamatnya jiwa-jiwa itu pada titik waktu tertentu tidak hanya dihayati sebagai urusan virus saja, tetapi juga masalah perut. Masalah tidak nyamannya jiwa yang terkurung dalam rumah. Premier negara bagian Victoria Australia sana mungkin bisa menjadi pelajaran sendiri. Di tengah-tengah ketidak-nyamanan warganya ia setiap hari tampil untuk menjelaskan perkembangan dinamika ‘basis material’ virus. Tidak mudah memang, tetapi dengan kredibilitasnya ia mampu menahan gejolak yang ada di ‘infrastruktur’ itu. ‘Bangunan atas’-pun tergarap dengan baik dan itu diinternalisasi dengan baik pula oleh warganya. Karena yang bicara mempunyai, sekali lagi: kredibilitas.

Sering kita mendengar cerita Kaisar Jepang pasca porak-poranda akibat kalah di Perang Dunia II, ia menanyakan, berapa guru yang tersisa? Maka bisa dikatakan juga dunia pendidikan menjadi ‘pihak-ketiga’ yang menyatukan kepedulian rakyat Jepang kala itu. Atau ada masanya di republik, gotong royong dicoba sebagai ‘pihak ketiga’ yang menyatukan kepedulian. Atau mungkin juga pembangunan. Atau infrastruktur. Atau ada hal lain yang perlu dilihat selain soal ‘pihak ketiga’ itu? Sebab dalam konteks negara nampaknya ini lebih dari soal dua-tiga-empat orang bersahabat. Karena ada bayang-bayang relasi kuasa di sini.

Jika kita memakai istilah pandemi, rasanya kita pernah dicoba di-‘lockdown’ oleh gotong-royong, atau pembangunan, atau infrastruktur. Atau bahkan radikal-radikul itu? Back to the things themselves, demikian salah satu ‘semboyan’ fenomenologi. Dan hal yang pada akhirnya menyedot perhatian besar kita adalah soal keberlangsungan hidup. Atau juga potensi untuk mengembangkan hidup. Apapun ‘lockdown’ yang diberlakukan, ketika perhatian sungguh tersedot pada keberlangsungan hidup, pada titik tertentu segala ‘lockdown’ itupun akan ditundanya. Terlebih ketika realitas memberikan dirinya dalam bentuk bermacam ketidak-adilan. Maka bukan sekedar pengalihan isu misalnya, tetapi adalah (‘mereka’ akan) mempertebal ‘lapisan’ untuk menutupi ketidak-adilan ini. Tirai asap yang pekat-tebalnya berbanding lurus dengan ketidak-adilan yang berkembang.

Lockdown’ model di luar wabah ini, ‘lockdown’ dalam tanda kutip, akan mudah berubah menjadi tirani jika ia menjadi tuli terhadap ‘umpan balik’ dari khalayak. Atau merasa yakin perpindahan kekuasaan melalui pemilihan kemungkinannya adalah nol. Sebab merasa telah memegang ‘hak cipta kecurangan’. At all cost, demikian kira-kira ‘semboyan’ mereka dalam mempertahankan kekuasaan. ‘Sick democracy’, demikian tagline dari Euronews baru-baru ini. Tapi peduli apa mereka dengan tagline semacam itu? *** (30-09-2020)

Retaknya Tiga Pilar