www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-09-2020

Awal wabah, meremehkan. Malah bicara insentif pariwisata & bangun ibu kota. Wabah mulai menyebar, buru2 minta New Normal. Wabah semakin mengancam, maksa tetap Pilkada. Wabah makin tak terkendali, solusinya ubah definisi. Yg begini dibilang bloon, pendukungnya ngamuk. Hasyulah..

https://twitter.com/U_y_o_k/status/

1308333622479339520

 

Salah satu yang ditakuti oleh penguasa adalah kelas menengah. Yaitu ketika harapan-harapan yang berkembang di kelas menengah tersebut menjadi semakin jauh untuk digapai. Kelas menengah yang mempunyai daya beli dan relatif mampu secara rasional menjaga jarak dengan kekuasaan. Di satu pihak, yang ditakuti oleh sebagian besar kelas menengah terutama adalah hilangnya daya beli, meski sebenarnya ia ada tidaklah sekedar karena daya beli saja.

Maka ‘mengendalikan’ kelas menengah ini adalah satu hal penting ketika rejim berangan akan ‘stabilitas’ kekuasaannya. Bahkan jika mungkin digarap ketika masih ‘dalam kandungan’, katakanlah sebagian saat jadi mahasiswa, misalnya. Bermacam cara, bermacam ‘pilihan’, salah satunya adalah dengan iming-iming KKN. Dengan modus KKN ini maka sebagian dari ‘kelas menengah’ itu akan terserap dalam kekuasaan. Mau tak mau sebagai ‘penikmat’ kekuasaan iapun akan ikut menyangganya dengan mati-matian juga.

KKN jika itu dalam praktek adalah sebagai salah satu penyangga utama rejim, maka rejim pada dasarnya adalah ada dalam ranah feodalisme. Yang memperoleh kesempatan lebih, mempunyai privilege untuk ber-KKN-ria adalah kaum bangsawan-bangsawannya. Dalam berbagai tingkatannya. Upeti bagi atasan adalah hal biasa juga dalam hal ini. Dan seterusnya. Yang mau disampaikan di sini adalah, jika kita melihat sejarah di berbagai tempat, feodalisme ini akan mendapat tantangan serius dari kelas menengah. Atau dulu ada yang iseng menamakan sebagai kaum borjuis. Borjuis dari asal kata dan pemakaiannya menunjukkan ‘kelas’ yang berbeda dengan kaum petani, tetapi sama-sama ada di ranah third estate dalam konteks Perancis sebelum Revolusi Perancis. Estate pertama adalah kaum agamawan, sedang estate kedua adalah kaum bangsawan.

Meledaknya produk cetakan setelah ditemukannya mesin cetak massal Guttenberg di abad 15 membuat penyebaran ide-ide atau apalah itu di abad 16-17 semakin masif. ‘Pendekatan melihat’ menjadi lebih berkembang setelah berabad-abad melalui ‘pendekatan mendengar’. Walter J. Ong menandaskan bahwa modus oralitas dengan ‘pendekatan mendengar’ itu akan cenderung mempersatukan. Sedang ‘pendekatan melihat’ akan memecah-belah, dalam arti masing-masing orang akan lebih bebas dalam mengembangkan imajinasinya dari apa-apa yang dilihatnya. Dari apa-apa yang ia lihat-baca dari tersebarnya barang cetakan itu. Dibanding misalnya, ketika para klerik di abad-abad sebelumnya sedang membacakan-menafsirkan-menjelaskan manuskrip di tangan.

Apapun alasan di belakangnya, imajinasi-imajinasi yang berkembang itu pada titik tertentu perlulah dikomunikasikan dalam bermacam bentuknya. Mungkinkah ini juga yang menyebabkan mulai akhir abad 17 itu mulai berkembang kedai-kedai kopi di Eropa sana? Dan bahkan kemudian berkembang ‘kultur kafe’ yang bertahan sampai sekarang. Lihat dalam tayangan France 24 beberapa waktu lalu ketika lock-down mulai dibuka. Salah satu tayangan melaporkan betapa gembiranya warga Paris tersebut bisa nongkrong lagi di kafe-kafe pada pagi hari, sambil minum kopi. Kaum borjuis yang mempunyai lebih banyak waktu senggang dibanding kaum petani mulai sering berkomunikasi satu sama lain. Imajinasi-imajinasipun semakin berkembang. Dan mungkin juga imajinasi-imajinasi tentang ‘identitas’ yang tiba-tiba saja menjadi semakin tajam terbedakan dengan yang duduk di first estate dan second estate itu. ‘Identitas’ yang berkembang tidak dalam kungkungan monopoli oral-nya kaum klerik, tetapi oral-nya bermacam kepala dari bermacam penjuru.

Ketika revolusi industri juga melahirkan komunikasi baru dalam modus man-to-mass, radio, film, dan televisi, dominasi oralitas-pun seakan merangkak lagi. Dalam bentuk ‘oralitas sekunder’-nya. Peran para klerik seakan hadir lagi, digantikan oleh kaum 'sofis' dalam bermacam tingkatannya. Dengan jangkauan yang berlipat-lipat ganda. Meski bukan merupakan faktor tunggal, jelas berkembangnya modus komunikasi man-to-mass itu ikut berperan dalam kekelaman dua perang dunia. Alvin Toffler menunjukkan bagaimana kekuatan ‘oralitas sekunder’ melalui radio, film dan televisi itu ikut mendukung kekuatan Shah Iran. Tetapi juga ditunjukkan oleh Toffler, bagaimana kekuatan modus man-to-man layaknya kafe-kafe di masa Revolusi Perancis, ikut berperan penting meruntuhkan Shah Iran. Bagaimana oralitas Khomeini saat di pengasingannya di Perancis itu, direkam dalam kaset-kaset dan digandakan diam-diam, serta kemudian diperdengarkan dalam komunitas-komunitas kecil.

Sekitar 15 tahun sebelum Revolusi Iran, Paulo Freire menandaskan perlunya kesadaran kritis berkembang. Demikian juga jauh sebelumnya, Gramsci, misalnya. Kesadaran kritis yang dimaksud Freire adalah tidak lepas dari pengalaman. “Tanggung jawab tidak dapat diperoleh secara intelektual, melainkan melalui pengalaman,” demikian Freire menandaskan.[1] Freire membedakan tiga macam kesadaran, semitransitif, transitif-naif, dan transitif kritis. Dari ‘masyarakat bisu’ berkesadaran semitransitif kemudian berkembang menjadi masyarakat kritis dengan kesadaran transitif-kritisnya, demikian kira-kira tujuan ‘proyek’ pendidikan Freire. Apa yang utama ingin dicapai? Kata Freire: “Pengembangan kekuatan ini akan menghasilkan peningkatan kemampuan untuk memilih.”[2]

Bagi Paulo Freire kesadaran transitif-kritis ‘tidak serta merta muncul dari kemajuan ekonomi yang paling besar sekalipun, tetapi secara sengaja ditumbuhkan melalui usaha-usaha pendidikan yang kritis’.[3] Di sisi lain Freire mengingatkan akan bahaya masifikasi. Kata Freire: “Kesadaran transitif-naif dan masifikasi terdapat hubungan potensial yang erat. Jika seorang pribadi tidak berkembang dari kesadaran transitif-naif ke kesadaran kritis, sebaliknya malah jatuh ke kesadaran fanatik, ia tidak saja kembali ke kesadaran semitransitif, tetapi ia menjadi lebih terpisah dari realitas dibandingkan dengan kesadaran semitransitif.[4] Tak jauh dari cuitan ‘Mbah’ Uyok seperti pada awal tulisan ini.

Ketika Paulo Freire menulis buku-bukunya, internet masih dalam tahap embrionya. Lima puluh tahun kemudian kita menyaksikan bagaimana internet menjadi ujung tombak dari Revolusi Informasi. “Logika waktu pendek’ yang diprovokasi oleh cepatnya informasi dan menyebar silih berganti. Kedalaman dan keluasan seakan menjadi perlahan terpinggirkan. Dan era post-truth pun kemudian disebut. Katanya, emosi lebih berperan dalam era tersebut. Seakan mengulang awal-awal meledaknya era pengeras suara, radio, film, dan televisi, yang juga melahirkan Hitler dan sejenisnya. Melanjut pada banality of evil yang merebak dan mencatatkan kelamnya sejarah, demikian Hannah Arendt.

Manuel Castells di penghujung abad 20 dalam The Rise of the Network Society menuliskan: “In the world of global flows of wealth, power, an images, the search for the identity, collective or individual, ascribed or constructed, becomes the fundamental source of social meaning.[5] Tentu ini bukanlah sebuah kecenderungan baru, demikian Castells menegaskan pula. Di dalam banyak situasi ketidak-pastian, sedang ada perubahan dan sekitarnya, identitas dapat menjadi the fundamental source of social meaning seperti disebut Castells di atas. Tegas Castells: “People increasingly organize their meaning not around what they do but on the basis of what they are, or believe they are.”[6] *** (24-09-2020)

 

[1] Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Penerbit MELIBAS, 2001, hlm. 18

[2] Ibid, hlm. 19

[3] Ibid, hlm. 22

[4] Ibid, hlm. 23

[5] Manuel Castells, The Rise of Network Society, 2nd ed, Blacwell Publisher, 2000, hlm. 3

[6] Ibid

Kelas Menengah dan Fanatismenya