www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-09-2020

Di belakang frase ‘menolak lupa’ pastilah ada bermacam konteks sehingga frase itu tidak hanya sekedar muncul, sehingga tetap bertahan dan banyak yang menghayatinya. Salah satu konteksnya adalah faktanya memang ada yang sedang berusaha keras untuk mencoba mengajak melupakan banyak hal kejadian di masa lalu. Terutama masa lalu yang mengusik kenyamanan hidupnya di masa sekarang. Tentu hidup akan terus berlanjut, apapun yang terjadi di masa lalu. Tetapi apapun itu, apa-apa yang sudah kita lalui akan ikut juga membentuk horison ketika kita sedang menghayati masa sekarang, now.

Tetapi apakah horison dalam penghayatan masa sekarang ini hanya dibentuk oleh endapan-endapan masa lalu? Jika kita sedang di fase sekarang, penghayatan akan sekarang ini sebutlah sebagai ‘primal impression’, saat now. Dalam fenomenologi, penghayatan akan sesuatu yang menjadi perhatian dalam primal impression ini akan dipengaruhi oleh adanya horison yang dibentuk oleh fase ‘retention’ dan ‘protention’. Kembali kita memakai contoh nada-nada. Ketika kita mendengar nada 2 (sebagai primal impression) misalnya, pada dasarnya saat itu juga, nada 1 tidaklah ‘hilang’ sama sekali, tetapi seakan ia tertahan, mengalami retensi, dan ikut ‘mewarnai’ penghayatan kita akan nada 2. Nada 3 yang belum terdengar, tetapi seakan juga ikut mewarnai penghayatan kita akan nada 2. Seakan saat kita mendengar nada 2, nada 3 sudah kita antisipasi. Nada 3 tersebut mengalami protensi. Nada 1 dan nada 3 kemudian bisa dikatakan bersama-sama ikut membentuk horison saat kita mendengar nada 2.

Bagi van Peursen, horison ini adalah juga ‘room for progress’. Meski horison ini sifat dasarnya ia ‘membatasi’ tetapi justru dengan adanya batas-batas itu bermacam kemungkinan, bermacam posibilitas menjadi mungkin. Inilah mungkin yang bisa kita hayati sebagai ‘sikap sekuler’, sekuler yang dalam arti ‘living in the world’. Dunia yang dihayati manusia dengan segala keterbatasannya. Juga dengan adanya batas itu kita justru menjumpai bahwa ‘meluas’-nya horison itu sendiri adalah tidak terbatas potensinya. Tetapi di satu pihak, kita juga sadar seluas-luasnya horison manusia meluas, ia tidak akan bisa menyamai ‘horisonnya Sang Pencipta’. Kesadaran yang tidak kemudian memasukkan Sang Pencipta dalam kotak ‘ceteris paribus’ seperti halnya kaum deisme itu. Yang mana dengan kesadaran itu menjadikan kita tidak jatuh dalam ‘sikap sekulerisme’. Maka sekali lagi, bisa kita hayati bahwa esensi dari kemajuan itu adalah juga meluasnya horison. Jika kita ‘berani’ mengarungi samudra kemungkinan itu, tentunya. Dikatakan bahwa yang abadi itu adalah perubahan itu sendiri, maka dalam konteks bahasan ini, itu bisa dikatakan sebagai perubahan dalam meluasnya horison. Jika kita bicara kemajuan.

Move-on-isme adalah ketika bandul masa lalu diminta diletakkan di ujung terjauhnya, bahkan untuk dilupakan. Antisipasilah masa depan, katanya. Tetapi seringnya masa depan yang seperti dia gambarkan. Entah itu ngibul atau tidak. Sebagai ‘isme’ hal seperti ini akan sangat mudah terjadi. Demikian juga ‘kontra’-nya. Tenggelam di masa lalu sehingga menjadi berat untuk membangun antisipasi ke depan. Atau ‘sulit menerima’ bahwa masa depan itu adalah bagian dari horison penghayatan akan masa kini. Jasmerah-isme. Dari beberapa komunitas yang berhasil dalam mengendalikan wabah COVID-19 ini, nampak ketika virus ada di sekitar sebagai ‘primal impression’, mereka mampu menggunakan luasnya horison yang terbangun dari masa lalu, katakanlah salah satunya adalah wabah SARS beberapa tahun lalu, dan ‘imajinasi’ jika virus COVID-19 itu meluas.

Lalu apa yang kemudian menjadi ‘titik berangkat’ dalam bersikap, apakah retention, primal impression, atau protention? Titik berangkat kita adalah intuisi kita. Apa yang kita hayati sekarang ini, realitas yang menghampiri kita, dan kita hayati dengan segala horison kita. Intuisi kita memang bisa terpenuhi atau tidak. Ketika kita melihat ada pintu, tembok, jendela kita dengan serta merta saat itu juga akan menghayati sebagai rumah. Intuisi pada saat itu serta-merta akan mengatakan bahwa itu rumah. Tetapi ketika kita mendekat, ternyata itu hanya bagian muka saja, sebab itu adalah properti pembuatan film, misalnya. Sebagian besar hidup kita akan seperti itu, retention-primal impression-protention yang taken for granted saja. Kadang intuisi kita meleset, dan tidak masalah itu, kita bisa bilang itu manusiawi. Karena toh sebagian besar itu benar, terpenuhi atau ‘terbukti’ secara terus menerus. Hidup bagaimanapun juga menjadi lebih mudah dijalani dengan modus taken for granted ini.

Tetapi dalam hidup toh tidak semua taken for granted saja. Misal kita akan membeli mobil bekas, datang ke show room dan tentu mobil-mobil dipajang dengan cat mengkilapnya. Ketika kita melihat jenis mobil tertentu dan tertarik, tentu tidak kemudian ‘taken for granted’ hanya karena mengkilap saja kemudian kita akan memutuskan membelinya. Pada awalnya kita akan secara pasif ‘menerima’ kilap mobil tersebut. Konsep mengkilap adalah mobil mak-nyus kita tunda dulu. Dan tiba-tiba saja setelah mendekat kita melihat sisi kanan ada cat yang agak tidak sesuai dengan sekitarnya. Penghayatan kita akan keseluruhan mobil yang mengkilap itu kemudian seakan ‘diprovokasi’ oleh bagian yang beda tersebut. Mobil yang mengkilap itu (the whole) seakan hadir dengan ‘rasa baru’ dengan adanya bagian yang berbeda (the part), dan itu membuat penghayatan ‘tematis’ kemudian muncul: mungkinkah mobil ini pernah tabrakan? Nampak di sini bagaimana sebuah persepsi kemudian berkembang pada proses berpikir. Tetapi bagaimana jika kita tidak punya konsep tentang ‘tabrakan’ itu? Atau bahkan kata ‘tabrakan’?

Analisis Robert Levy soal hipokognisi menjadi menarik di sini. Dalam penelitian tingkat bunuh diri yang tinggi di Tahiti sekitar tahun 1970-an, Levy menunjuk soal hipokognisi ini. Tidak ada kata saat itu yang bisa menggambarkan perasaan ketika kehilangan yang sungguh berharga. Yang dirasakan hanya rasa aneh nan menyakitkan, rasa tidak enak yang sungguh mengganggu, tanpa sebuah kata-pun untuk menggambarkannya. Jika kita meminjam Heidegger yang berpendapat bahwa bahasa adalah ‘rumah’ bagi manusia, mungkin situasi hipokognisi yang dialami warga Tahiti saat diteliti Levy tersebut mereka merasa tiba-tiba saja sudah ‘di luar’ rumah, ‘sendirian’, dan akhirnya mengambil jalan pintas, bunuh diri.

Pada saat-saat tertentu, kita mungkin menjumpai beberapa hal yang mirip. Katakanlah kita bisa menghayati A sebagai p(1), B sebagai p(2), dan C adalah juga p(3). Mirip satu dengan lainnya. Pada tahap berikutnya kita mungkin bisa sampai pada penghayatan bahwa itu tidak hanya mirip, tetapi adalah sama, A adalah p, B adalah p, dan C adalah juga p. Mungkin kita semakin terusik, persepsi kita yang mengatakan bahwa A, B, dan C itu adalah sama dengan p kemudian ‘memprovokasi’ imajinasi kita. Imajinasi-imajinasi kita bisa semakin dalam dan bisa-bisa juga memicu sebuah insight akan satu hal. Dari persepsi kemudian kita masuk dalam ‘dunia keberpikiran’. Tetapi imajinasi bisa begitu liarnya, sehingga inipun harus dicek-ricek lagi pada realitas yang ada. Atau melakukan komunikasi dengan imajinasi-imajinasi  lain dari orang lain. Yang mungkin juga pada awalnya menjumpai bermacam kemiripan. *** (16-09-2020)

Primal Impression