www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-08-2020

Influencer adalah kata asing yang seakan sudah terserap dalam kosa-kata keseharian. Jika makna influencer seperti yang umum kita hayati dalam makna negatifnya yaitu ketika ia terkait dengan BuzzerRp, ia sebenarnya sudah ada paling tidak sejak kaum Sofis merebak di Athena, lebih dari 2000 tahun lalu. Tetapi perbandingan ini-pun harus hati-hati. Apapun itu, kaum Sofis juga menyumbang banyak hal positif juga.

Dalam makna ‘netral’-nya bisa kita lihat pada awal abad 20. Yaitu kira-kira setengah tahun sebelum revolusi Bolshevik, presiden AS waktu itu, Woodrow Wilson membuat Commitee on Public Information yang diketuai oleh George Creel. Woodrow Wilson sebagai presiden saat itu ingin AS terlibat perang yang berkecamuk di Eropa sana. Tetapi rakyat AS sungguh apatis terhadap Perang Dunia I di Eropa sana. Tugas Commitee on Public Information adalah membangun dukungan rakyat sehingga Woodrow Wilson dapat terlibat dalam perang tersebut dengan mantap. Sah. Padahal saat memenangkan pemilihan presiden di tahun 1916 (untuk kedua kalinya), salah satu slogan para pendukungnya adalah: “He Kept Us Out of War.” Yang mana saat itu Perang Dunia I sedang panas-panasnya. Commitee on Public Information atau juga dikenal sebagai Komisi Creel itu berhasil membalikkan dari pendukungnya yang yakin Woodrow Wilson akan ‘kept us out of war’ menjadi kebalikannya: keranjingan untuk terlibat perang. Bahkan sebuah laporan dari Council on Foreign Relations di tahun 1940 menyebut yang dilakukan Komisi Creel itu sebagai “the most efficient engine of war propaganda which the world had ever seen” yang kemudian menghasilkan perubahan revolusioner perilaku publik dalam mendukung partisipasi AS di Perang Dunia I.

Pertanyaan bagi kita, mengapa bermacam bentuk propaganda itu bisa begitu berhasilnya? Atau yang lebih lunak, mengapa ada iklan-iklan yang begitu berhasilnya dan ada yang gagal? Atau misalnya, mengapa meski mahal, luxury goods itu tetaplah bagai ‘bintang penuntun’ saat ‘ideologi’ konsumerisme itu menyapa kita? Apakah ini soal ‘model iklan’-nya? Soal identitas? Soal hasrat?

Komisi Creel yang sukses di awal abad 20 itu nampaknya menjadi begitu menggiurkan di ranah politik, bahkan ketika abad sudah berganti. Dengan bermacam pengembangan strategi dan taktiknya. Satu abad sebelum Komisi Creel ‘sukses besar’, Napoleon di tahun 1812 sudah merasa terusik dengan kiprah ‘kaum ideolog’. Katanya: “It is the doctrinaire of the idéologues –to this diffuse metaphysics, which in a contrived manner seeks to find the primary causes and on this foundation would erect the legislation of people, instead of adapting the laws to a knowledge of the human heart and of the lesson of history – to which one must atrribute all the misfortune which have befallen our beautiful France.”[1] Dan Napoleon-pun kemudian merombak sistem pendidikan di Perancis dengan mendirikan lycées yang hampir berkebalikan dengan écoles centrales yang dikembangkan oleh ‘kaum ideolog’. Yang mana ideologi pada saat itu dimaknai sebagai ‘ilmu tentang ide-ide’. Di lycées Napoleon mengembangkan pendidikan dengan menekankan disiplin militer dan kontrol ketat dari penyelenggara sekolah.[2]

Istilah influencer mestinya hadir tidak di ruang kosong. Ia hadir di ranah dunia digital. Bagi Pierre Bourdieu, tindakan akan selalu terkait dengan ranah, modal, dan habitus. Influencer dalam hal ini adalah yang mempunyai modal (sosial) tinggi di ranah dunia digital. Atau kalau mengikuti pembedaan Alvin Toffler, ranah modus komunikasi mass-to-mass. Mungkinkah bisa juga kita bayangkan jika ranahnya adalah dalam media komunikasi man-to-mass -yang didorong habis oleh revolusi industri itu? Atau juga saat media komunikasi dominannya man-to-man atau tatap-muka seperti ketika kaum Sofis berkembang? Hari-hari ini sedang diberitakan peringatan pidato Martin Luther King yang terkenal, I Have a Dream itu. Dalam modus komunikasinya yang lebih pada man-to-mass. Atau berita akhir-akhir ini juga di republik, satu-dua televisi yang jelas itu adalah modus komunikasi man-to-mass yang sedang menggugat perkembangan modus komunikasi mass-to-mass di MK. Berhasilkah? Atau kita bayangkan, jika siapa-siapa yang mendapat privilege dari era manuskrip kemudian menggugat bermacam hasil dari mesin cetaknya Guttenberg itu? Atau gugatan itu sekedar ‘bikin ribut’ saja? Tak jauh dari ‘patroli opini’ yang beruntun sungguh ndèk-ndèk-an, sungguh mbèlgèdès itu?

Apapun penghayatan kita akan influencer itu, dari waktu-ke-waktu, pengaruh yang efektif itu selalu melekat pada power. Dan jika kita mengikuti Alvin Toffler dalam Power Shift, power bisa dibedakan menjadi power of knowledge, power of violence, dan power of wealth. Tal jauh dari soal tripartit jiwa-nya Platon, lebih dari 2000 tahun lalu. Jika kita memakai Alegori Kereta Perang/Kereta Kencana-nya Platon, maka kita bisa bayangkan republik laksana sebuah kereta kencana yang sedang menuju ke atas, pada ‘kebaikan para dewa’. Atau dalam hal ini, cita-cita Proklamasi. Kereta kencana yang terdiri dari sais (nalar/rasio –the power of knowledge), ditarik oleh kuda putih (kebanggaan, the power of violence) dan kuda hitam (nafsu perut ke bawah, terutama the power of wealth). Dan ada sayap di kanan-kiri, eros. Atau bisa kita hayati juga sebagai elan vital, daya hidup.

Apa yang sering membuat kita muak dengan ulah influencer-buzzerRp-bangsat Rp itu, sebenarnya adalah soal laku-laku bangsat yang maunya mem-préthèli, mengusik ‘sayap kereta republik’. Ia mengusik daya hidup, energi hidup, elan vital kita sebagai satu komunitas. Padahal di sisi lain, baik sais, kuda putih, dan kuda hitam yang sebenarnya dalam dirinya lekat dengan power itu juga sedang dipréthèli, sedang diluncurkan ke bawah. Padahal sebagai ‘influencer-raksasa’ mereka semestinya akan mengajak seluruh komponen bangsa bahu-membahu mengarahkan kereta ke atas. Jebakan utang (debt trap) misalnya, adalah salah satu langkah mem-préthèli kekuatan si-kuda hitam. Belum cerita lainnya yang juga sangat ugal-ugalan. Di posisi ‘filsuf raja’ justru ditampilkan yang serba medioker. Sangat kontras jika kita melihat alasan PM Jepang Abe mengundurkan diri. Abe mengundurkan diri karena masalah kesehatan, ulcerative colitis yang memang sungguh mengganggu. Kata Abe, ia tidak mau penyakitnya itu membuat ‘gangguan’ saat harus membuat keputusan-keputusan penting di masa depan. Beda dengan di republik, sudah jelas mengidap ‘multiple sclerosis’ terutama menyerang otaknya, justru yang ditawar-tawarkan ke publik. Belum lagi soal ‘the power of violence’, yang pegang senjata.

Bagaimana kita bisa meraba dengan mudah bahwa sais, kuda hitam, dan kuda putih sedang ‘dimainken’? Soal sayap di kanan-kiri kereta jelas polah-tingkahnya si influencer minor-buzzerRp-bangsatRp itu. Kita bisa melihatnya secara telanjang. Untuk ‘influencer-raksasa-karena-dilekati-power’ –sais, kuda putih, kuda hitam, bisa kita raba dari soal: tahu batas. PM Jepang Abe adalah contoh kongkret soal ‘tahu batas’. Di republik kita bisa merasakan bagaimana soal ‘tahu batas’ ini sedang dimainken. Dimainken supaya ‘tidak-tahu-batas’ lagi. Jika kita lihat dan telisik pelan-pelan, maka semakin jelas strategi dan taktik ‘penguasaan’ ini. Anda merasakan? *** (30-08-2020)

 

[1] https://www.cultiv.net/cultranet/

1143797784Ideologues.pdf

[2] Ibid

Influencer

gallery/plato wings