www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-08-2020

Getaran apa ketika kita melihat lagi saat Billie Holiday menyanyikan Strange Fruit[1]? Tekak-tekuk teknik bernyanyinya. Ekspresi wajahnya. Dan jika kita juga paham sejarah lagu itu lahir. Serta jatuh bangunnya seorang Billie Holiday? Juga ketika video tersebut memperdengarkan tepuk tangan dari penonton? Tak terasa tiba-tiba saja ujung lagu sudah selesai, ditutup oleh tepuk tangan penonton. Atau kita sedang menunggu di UGD, seorang rekan sedang ditangani karena kecelakaan. Akan terasa lama. Waktu yang kita alami itu bisa saja terasa mulur-mungkret seakan tidak sesuai dengan tak-tik-nya jarum jam.

Maka paling tidak kita mengenal dua macam waktu. Waktu yang terukur, waktu yang kita buat ukuran-ukuran obyektifnya, detik, menit, jam, hari, bulan, tahun. Satu jam ya satu jam, lebih atau kurang maka sudah bukan satu jam lagi. Jika kita bilang butuh 1 jam maka itu bisa diverifikasi. Siapa saja bisa memverifikasi karena hal tersebut bersifat publik. Dan waktu kedua adalah waktu yang kita alami, kita hayati. Waktu yang bisa mulur-mungkret dalam penghayatan. Waktu ‘internal’ kita, lebih bersifat privat. Atau sebuah duration, menurut Bergson.

Jika kita telisik lebih dalam lagi, apa yang disebut sebagai ‘waktu internal’ itu erat terkait dengan kesadaran, atau tepatnya sadar akan sesuatu, perhatian yang tertuju akan sesuatu. Katakanlah kesadaran kita tertuju pada sebuah nada, nada satu-dua-tiga. Waktu ‘internal’ yang kita hayati merupakan keberurutan yang tak terpisahkan, ketika kita mendengar nada dua misalnya, nada satu yang sudah menghilang itu seakan tertahan dan memberikan ‘horison’ saat kita mendengar nada dua saat ini (now). Nada tiga yang belum terdengar, saat now di nada dua seakan sudah kita antisipasi kehadirannya. Inilah yang disebut sebagai consciousness of internal time, waktu di level ketiganya.

Ketika kita keluar rumah, entah untuk bekerja atau keperluan lain, hampir kita melalui jalan keluar kampung yang sama. Kita lihat ada rumah bagus, di sampingnya ada toko kelontong kecil, sampingnya lagi ada kos-kosan dengan taman bunga terawat. Dan lihat, ada ‘polisi tidur’ baru sebelum persimpangan. Jalan yang hampir setiap hari kita lewati itu kita sudah begitu mengenalnya, seakan menjadi ‘bagian’ dari keseharian kita. Demikian juga kanan-kiri rumah kita. Jika ada yang sedang merenovasi rumah, segera saja ‘melengkapi’ kesadaran kita akan sekitar. Atau tiba-tiba saja ada spanduk dijual atau disewakan di depan rumah. Mungkinkah Bapak A sudah pindah rumah? Sadar tidak sadar dari hari-ke-hari kita membangun ‘keberakaran’ akan keberadaan kita. Maka kemudian jamak dikatakan pada momen penggusuran misalnya, selalu diingatkan bahwa itu tidak sekedar memindahkan orangnya saja, tetapi juga ‘dunia’-nya tempat ia berakar.

Untuk memudahkan tukang pos misalnya, di depan gapura dibuat peta kampung. Bagi orang luar mungkin itu sekedar peta penunjuk jalan, tetapi bagi penghuni kampung peta itu lebih dari sekedar penunjuk jalan saja. Waktu yang ditunjukkan pada jam, kalender, atau lainnya layaknya sebuah peta itu. Tetapi apapun itu, ia tidaklah pernah menggantikan ‘waktu yang dialami’ oleh penghuni kampung tersebut, misalnya. Sama halnya dengan peta kampung di depan gapura, waktu jam-kalender sebenarnya tidaklah akan bermakna jika tanpa adanya penghuni kampung yang ‘menghidupinya’.

Bagi banyak komunitas di dunia, bulan Agustus adalah bulan ketika Perang Dunia II berakhir. Sebuah film dokumenter, dari beberapa dokumenter yang ditayangkan, melaporkan soal nasib anak-anak pasca Perang Dunia II. Dalam tayangan TV DW (Jerman) salah satunya mengambil kisah di Kloster Indersdorf, dengan pengelolanya disebut Tim 182. Di situ para anak yatim-piatu akibat perang dikumpulkan dan diasuh. Dalam tayangan itu diwawancarai anak-anak tersebut yang sekarang sudah tua. Digambarkan bagaimana Kloster Indersdorf bersama Tim 182 itu telah memberikan sesuatu yang begitu berharga dalam hidup masa anak-anak, terlebih sebagai korban perang. Kesungguhan Tim 182 dari hari-ke-hari digambarkan bagaimana itu berhasil membawa anak-anak tersebut mampu menghadapi trauma-trauma tidak hanya soal perang, terlebih terpisahnya dengan orang tua mereka dengan segala akibatnya. Kelaparan, tanpa pakaian ganti, penyakit, ketakutan dan lainnya. Jelas apa yang terjadi di Kloster Indersdorf itu bukanlah semata soal ‘menghitung-hari’, tetapi lebih pada soal bagaimana hari-hari itu dilalui.

Bagi pemegang ‘pakta dominasi’ sejarah menunjukkan bahwa godaan untuk tetap bercokol adalah besar sekali. Bahkan hasrat untuk tetap bercokol hampir sebuah kepastian. Kata Thomas Hobbes itu untuk menjamin apa yang diperolehnya sekarang tetaplah aman, tidak hanya untuk sekarang tetapi untuk masa-masa datang juga. Di mata mereka bukan hukum yang bisa menjamin, tetapi power. Keadilan adalah masalah siapa yang berkuasa atau kuat- justice is nothing but the advantage of the stronger, demikian salah satu pendapat Thrasymachus. Dan sejarah juga menunjukkan, mereka yang berpendapat bahwa keadilan adalah masalah siapa yang berkuasa akan selalu dihadapkan pada ‘kesadaran revolusioner’, atau ‘kesadaran kritis’, atau term-term lain yang menunjukkan bagaimana penghayatan-penghayatan akan realitas sehari-hari itu kemudian justru menampakkan adanya ketidak-adilan. *** (25-08-2020)

 

[1] https://www.youtube.com/watch?v=-DGY9HvChXk

Waktu Itu