www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-08-2020

Karena perubahan iklim membuat udara bumi semakin panas, dan pohon-pohon menjadi menderita. Beberapa pohon membuat pertahananan sendiri, tetapi akibatnya ia mengeluarkan zat-zat tertentu yang baunya justru mengundang kumbang tertentu untuk masuk ke pohon. Meski begitu pohon yang sedang banting-tulang mempertahankan diri itu masih bisa mengeluarkan getah sehingga kumbang-kumbang itu tidak bisa masuk seenaknya ke batang pohon. Tetapi upaya itu-pun terbatas juga. Ketika upaya mengeluarkan getah itu sudah sangat menurun, kumbang-kumbang itu masuk dengan leluasa ke batang pohon. Tidak hanya itu, kumbang-kumbang itu mengeluarkan bau-bau tertentu juga. Bau-bau itu semacam ‘undangan’ bagi kumbang lainnya untuk ‘berpesta’ sembari berbiak pada pohon yang sedang sekarat itu. Maka semakin cepatlah pohon itu mati, dan kering. Ketika ada api maka cepatlah kebakaran itu membesar karena banyaknya pohon-pohon mati mengering.

Hal di atas adalah salah satu penjelasan mengapa kebakaran hutan di beberapa tempat, di luar ulah sengaja manusia, terjadi lebih sering. Ada yang mencatat terjadi dua kali banyaknya jika dibanding 50 tahun lalu. Cerita dari suatu rentetan peristiwa yang dimulai dari cepat keringnya air permukaan di sekitar pohon.

Berita meningkatnya panas global sudah sering menghiasi berita-berita di sekitar kita. Diberitakan bahwa di tempat-tempat tertentu mengalami gelombang panas yang terpanas sejak sekian tahun. Bagaimana mulai lebih sering ditemukan fosil mamut di Siberia sana karena tanah beku (permafrost) yang mencair. Dan juga berita-berita tentang patahan-patahan es dalam bentuk gigantisnya. Wabah pandemi coronavirus secara tidak langsung juga membuka mata bagaimana ulah ugal-ugalannya manusia dalam merawat bumi. Sementara populasi manusia terus meningkat dan sudah menuju 8 milyar mulut yang minta makan semua. Juga sumber daya semakin terbatas. Sebagai satu komunitas, apa yang musti kita kerjakan demi keberlangsungan hidup generasi mendatang?

Suka-tidak-suka, wabah pandemi ini juga (lebih) menguak peran penting dari seorang pimpinan dalam satu hidup bersama. Suasana ‘chaotic’ ini ternyata tidak berbeda dari jaman-ke-jaman dalam hal responnya, ia memerlukan ‘axis-mundi’ dalam menyusun respon sehingga penghayatan akan ‘kosmos’ bisa hadir kembali. Clear massages dan konsistensi dari ucapan dan tindakan pemimpin terbukti bisa menjadi ‘pegangan’ dari komunitas untuk membangun sikap melawan pandemi ini. ‘Kosmos’ dimana manusia mempunyai kesempatan lebih untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Manusia yang sesadar-sadarnya ia mempunyai keterbatasan dalam menapak jalur hidupnya, kematian. Maka yang dimaksud ‘keberlangsungan hidup’ bagi manusia pastilah tidak hanya menyangkut diri sendiri. Ia pastilah terbayang pada generasi-generasi yang dilahirkannya. Bahkan secara instingtif-pun binatang akan berperilaku demikian.

‘Logika waktu pendek’[1] yang di’provokasi’ oleh kemajuan tekhnologi komunikasi-pun tidak serta-merta membunuh ‘kepentingan’ mempertahankan keberlangsungan hidup ini. Kemajuan tekhnologi komunikasi yang tidak hanya semakin cepat-ringkas, tetapi kecepatan arus informasi itu sudah seakan menjadi penentu banyak hal. Tetapi bagaimanapun juga ‘logika waktu pendek’ yang ‘menekan’ kedalaman dan keluasan itu tetaplah, sekali lagi, tidak menghilangkan ‘insting’ manusia dalam melangsungkan hidupnya.

In-formasi lekat dengan ‘formasi’, membentuk. Jadi bisa dikatakan bagaimana dinamika terkait dengan ‘informasi’, apapun itu bentuknya, karakternya, pada akhirnya ia akan ikut terlibat membentuk kehidupan. Sudah banyak bahasan mengenai perubahan yang dipicu dengan berkembangnya bahasa, atau ditemukan cara penulisan pada manuskrip, kemudian mesin cetak, dan juga secara digital. Ada telegram, telepon, radio, televisi, HP, smartphone, internet. Bersama dengan kecepatan penyebarannya. ‘Logika waktu pendek’ yang juga ‘serba ringkas’ ini pastilah akan juga mempunyai dampak dalam hidup bersama. ‘Kecerdasan kolektif’ jelas juga akan lebih cepat berkembang. Otak mungkin akan berkembang lebih ‘lincah’ dalam menerima informasi. Tetapi di sisi lain, kecenderungan manusia untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesakitan, informasi-informasi yang dia ‘setuju’ atau ‘yang membuat nyaman’-lah yang mungkin akan sering ‘dikonsumsi’. Maka panas-dingin fanatisme-pun bisa-bisa memperoleh lahan suburnya. Di dalam wajah janus perkembangan informasi inilah kedalaman dan keluasan dalam kemampuan ‘mengelola’ serba cepat dan ringkasnya informasi diperlukan. Sebuah ‘kualitas diri’ yang sangat-sangat erat terkait pada trial-error, jatuh-bangun, dan tidak mungkin serba instan. Inilah juga syarat utama seorang pemimpin di masa depan. Bahkan juga pemimpin-pemimpin masa lalu jika dikaitkan dengan perkembangan-perkembangan kemajuan tekhnologi komunikasi-informasi di masanya.

Yang dimaksud dengan pemimpin di sini tidaklah terbatas pada ranah politik saja, meski ini adalah ranah sangat penting. Tetapi juga ranah-ranah lainnya. Dari ‘teater-teater’ lainnya, meminjam pemikiran Erving Goffman. Atau jika mengikuti Pierre Bourdieu, sebuah tindakan, action, tidak akan lepas dari ranah, habitus, dan ‘capital’. Habitus jelas juga tidak instan. ‘Capital’ dalam bermacam bentuk-nyapun akan dicapai tidak dengan instan pula. Sebuah ranah pastilah akan mempunyai sejarah panjangnya masing-masing. Dan kita sudah mengalami hampir satu dekade bagaimana jika yang hadir adalah seorang pemimpin instan. Pengalaman yang sungguh mengkhawatirkan, baik sekarang atau bertahun kemudian. Repotnya, ‘nuansa kebatinan khalayak’ dalam konteks jaman now memang bisa dengan mudah menyerap atau bahkan dimanipulasi demi yang instan-instan itu. Yang ‘eksotis’, tiba-tiba lain dari langgam selama ini bisa-bisa ‘lebih laku’. Salah satunya karena ‘logika waktu pendek’ itu.

Jika hidup bersama yang kita jalani ini adalah satu dari sekian pohon yang tumbuh di planet ini, kita adalah pohon yang sudah-sedang terdampak oleh bermacam perubahan yang terjadi, terutama selama seabad terakhir. Dan sayangnya, ketika ‘pohon republik’ sedang susah payah bertahan dan mengembangkan hidup, ‘kumbang-kumbang’ korupsi, kolusi, dan nepotisme itu terus menghampiri. Ketika pemimpin instan-penuh-lagak-tanpa-kedalaman-tanpa-keluasan itu tampil, cerita selanjutnya adalah ‘getah’ pertahanan akan serangan kumbang-kumbang itu-pun terasa nyata semakin mengering. Maka semakin banyaklah kumbang-kumbang itu merengsek masuk. Tidak hanya itu, kumbang-kumbang itu juga aktif mengundang rekan-rekannya untuk berpesta bersama di ‘pohon republik’ yang semakin sekarat itu. Bahkan juga kumbang dari luar republik!

Ledakan hebat di Beirut Lebanon beberapa waktu lalu kemudian melanjut pada demonstrasi besar. Para demonstran mengangkat isu korupsi sebagai satu hal sentral terjadinya ledakan besar itu. Bayangkan, ada hampir 3 juta kilogram bahan mudah meledak tersimpan dalam sebuah gudang di pelabuhan selama 6 tahun. Jelas di luar standar keamanan. Tentu ada penjelasan mengapa hal itu terjadi, tetapi pengalaman di sebuah republik, lorong-lorong kegelapan korupsi, kolusi dan nepotisme itu selalu peka, sangat peka terhadap kesempatan. Tetapi sangat tidak peka dan bahkan buta terhadap lingkungan sekitar.

Jadi, masih mau pemimpin yang serba instan-banyak lagak? Mau terjadi ‘kebakaran’ hebat (lagi)? *** (13-08-2020)

 

[1] Lihat, Haryatmoko, Etika Komunikasi, Kanisius, 2007

Kebakaran Karena Perubahan Iklim